JAKARTA, Berita HUKUM - Organisasi yang dibentuk sesuai dengan Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU tersebut hanyalah Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), sementara organisasi advokat lainnya yang bermunculan kemudian tidak dibentuk berdasarkan pasal tersebut. Hal tersebut disampaikan Yusril Ihza Mahendra selaku Ahli Pemohon dalam sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) pada Senin (17/12) di Ruang Sidang Pleno MK.
Terhadap perkara yang teregistrasi Nomor 35/PUU-XVI/2018 ini, Yusril menegaskan bahwa MK dalam Putusan 14/PUU-IV/2016 dalam pertimbangan hukum menyatakan Peradi sebagai satu-satunya wadah profesi advokat. Peradi yang dimaksudkan, tambah Yusril, adalah yang didirikan oleh delapan organisasi advokat dalam kurun waktu dua tahun sejak disahkannya UU Advokat. Dalam keterangan ini Yusril memperbandingkan perubahan UU Advokat dengan UU Jabatan Notaris yang diubah atas inisiatif pemerintah dengan UU Nomor 2 Tahun 2014, sedangkan perubahan terhadap UU Advokat tidak diambil inisiatif oleh Pemerintah maupun DPR sehingga sifat multitafsir terus berlangsung.
"Oleh karena inisiatif pemerintah dam DPR tidak kunjung ada mengakhiri sifat multitafsir ini, maka alangkah baiknya MK untuk mengambil keputusan guna mengakhiri hal ini," sampai Yusril menanggapi permohonan yang diajukan oleh sejumlah Advokat yang terdiri atas Bahrul Ilmi Yakup, Shalil Mangara Sitompul, Gunadi Handoko, Rynaldo P. Batubara, Ismail Nganggon, dan perseorangan warga negara calon advokat atas nama Iwan Kurniawan .
Menurut Yusril, dalam pertimbangan hukum MK perlu melengkapi penegasannya melalui pertimbangan hukum putusan sebelumnya yang dengan tegas telah menyatakan Peradi adalah satu-satunya wadah profesi advokat. Pada dasarnya, Peradi merupakan organ negara yang bersifat mandiri sehingga sifat multitafsirnya harus dihilangkan dan penjelmaannya dalam wadah organisasi seharusnya bersifat tunggal.
Diberi Kekuasaan
Pada kesempatan yang sama Ikadin selaku Pihak Terkait juga menghadirkan Maruar Siahaan sebagai Ahli yang memberikan keterangan bahwa apabila organisasi advokat memiliki fungsi menjalankan kekuasaan negara, maka harus dilihat keberadaan kekuasaan itu. Menurut Maruar, ketika organisasi advokat diberi kekuasaan maka harus terlihat koordinasi serta pertanggungjawabannya terhadap negara. Salah satu wujud dari hal tersebut adalah mengeluarkan SK.
"Maka, penegak hukum konsisten dalam penegakan hukum dengan secara inheren memberikan ketidakpastian hukum pada UU Advokat ini. KalauPeradi dinyatakan organ advokat tunggal dengan peralihan, maka 8 organ lainnya itu likuidasi," terang Maruar di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Sebelumnya, para Pemohon menyatakan tidak mendapat kepastian hukum akan organisasi advokat yang sah dan konstitusional untuk melaksanakan wewenang yang diatur dalam UU Advokat. Para Pemohon mendalilkan norma frasa "organisasi advokat" yang diatur dalam Undang-Undang Advokat saat ini bersifat multitafsir yang memungkinkan pihak-pihak tertentu seperti Kongres Advokat Indonesia (KAI), dan Perhimpunan Advokat Republik Indonesia (Peradri), atau Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia memberi tafsiran berbeda atau tafsiran lain yang inkonstitusional karena tidak sesuai dengan original intent atau tujuan teleologis pembentukan norma frasa "organisasi advokat" yang diatur dalam Undang-Undang Advokat.
Hal itu dapat dijelaskan dengan adanya tafsir dari KAI terkait organisasi advokat yang berhak melaksanakan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang Advokat adalah "Kongres Advokat Indonesia". KAI dalam hal ini bermaksud menghimpun para advokat Indonesia dalam wadah tunggal sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Advokat ex Pasal 10 huruf a Akta Pendirian Organisasi Kongres Advokat Indonesia.
Sebelum menutup persidangan, Anwar mengingatkan kembali bahwa sidang akan dilanjutkan pada Kamis, 10 Januari 2019 dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari Ferari.(SriPujianti/LA/MK/bh/sya) |