JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan agenda Mendengarkan Keteraangan Ahli. Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva, pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah, Jakarta Dr. Chairul Huda menyatakan KUHAP tidak sepenuhnya bisa melindungi hak asasi terdakwa/tersangka. Hal tersebut lantaran tidak ada makna yang jelas untuk istilah-istilah yang digunaka.
“Pasal 1 angka 14 KUHAP, misalnya, mendefinisikan tersangka menggunakan istilah bukti permulaan. Tapi pada Pasal 17 KUHAP , seseorang dinyatakan keras melakukan tindak pidana didasarkan pada bukti permulaan yang cukup,” ujarnya di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Senin (14/7).
Chairul melanjutkan, lain halnya ketika penahanan. Penahanan dilakukan apabila terdapat bukti yang cukup. Dengan kata lain, ada 3 istilah digunakan, yaitu bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup yang semuanya tidak dijelaskan dalam KUHAP apa maknanya. Akibatnya, implementasi pasal-pasal tersebut tergantung pada selera penegak hukum yang menyebabkan ketidakadilan dan ketidaksamaan perlakuan. Hal ini menyebabkan penerapan KUHAP tidak bersifat netral, tidak seragam, dan tidak dapat diprediksikan.
“Oleh karena itu, salah satu peluang bagi MK adalah untuk memaknai berbagai istilah itu sesuai ketentuan KUHAP itu sendiri, sehingga menjadi sebuah penafsiran yang konstitusional,” imbuhnya.
Lebih lanjut, perlunya penafsiran yang jelas dalam istilah-istilah pada KUHAP terkait asas praduga tak bersalah yang pada dasarnya memberikan sejumlah hak pada tersangka/terdakwa untuk dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingannya, seolah-olah tidak bersalah sampai pengadilan menyatakan sebaliknya.
“Bagaimana tersangka/terdakwa dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingannya apabila aturannya multitafsir dan tidak jelas maksudnya?” tandasnya.
Sementara, Pakar Hukum Pidana UI, Depok Eva Aryani Zulva menegaskan permasalahan utama sebenarnya berkaitan dengan fungsi KUHAP untuk melindungi dan sebagai sarana instrumental. Fungsi melindungi berkaitan dengan penerapan hukum pidana yang tidak dapat diterjemahkan lain selain dengan UU. Sementara sarana instrumental berfungsi untuk menyatakan bahwa, dalam proses penuntutan seorang atas perbuatan yang dilakukannya tidak bisa dilakukan selain melalui prosedur yang diatur dalam perundang-undangan.
“Dalam pasal 1 KUHAP Belanda menyatakan bahwa, penuntutan pidana merupakan keseluruhan proses pidana mulai dari pengusutan sampai pelaksanaan pidana yg didasarkan pada ketentuan UU. Ini berbeda sekali maknanya dengan makna penuntutan dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP yang memberikan makna sangat sempit, bahwa penuntutan merupakan tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dan seterusnya,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Pakar Hukum UII, Yogyakarta M. Arif Setiawan menilau KUHAP terlalu berorientasi pada pemberian kewenangan untuk penegak hukum pidana, sehinggga mengesampingkan perlunya perlindungan HAM bagi tersangka/terdakwa. Meskipun lahirnya KUHAP didasarkan pada isu sentral perlindungan HAM dalam hukum pidana, namun penerapannya ternyata tidak didasarkan pada isu tersebut.
“Kemudian diperparah dengan ketidakjelasan norma yang pada praktiknya semakin menjauhkan pada isu sentral perlidungan HAM bagi tersangka/terdakwa dan menimbulkan ketidakpastian hukum, serta dapat menimbulkan kesewenang-wenangan yang nyata,” ungkapnya.
Berdasarkan pengertian penyidikan dalam pasal 1 angka 2 KUHAP, menurutnya tidak perlu diragukan lagi bahwa, tujuan utama penyidikan adalah untuk menemukan dan mencari tiga hal, yakni bukti, tindak pidana, dan pelakunya. Penentuan ada tidaknya tindak pidana maupun pelakunya ditentukan dari bukti yang ditemukan penyidik.
“Dengan memahami pengertian penyidikan dalam pasal tersebut, maka tindakan penyidikan tidak perlu menetapkan adanya tindak pidana atau pelakunya kecuali ditemukan bukti,” sambungnya.
Sebelumnya, terdakwa kasus korupsi bioremediasi fiktif PT. Chevron Pacific Indonesia, Bachtiar Abdul Fatah mengajukan pengujian undang-undang terkait ketentuan tentang penyidikan, proses penahanan, dan pemeriksaan perkara dalam KUHAP. Diwakili Kuasa Hukum Pemohon Maqdir Ismail, Pemohon menguji Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1) Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) KUHAP. Pasal-pasal tersebut dianggap telah diberlakukan dalam proses pemidanaan kepada Pemohon yang telah ditetapkan sebagai tersangka, penangkapan, dan penahanan Pemohon dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut. Sedangkan, Pasal 77 huruf a UU yang sama diberlakukan kepada Pemohon dalam perkara praperadilan.
“Jelas terhadap hubungan sebab-akibat antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal dalam KUHAP yang diuji dalam permohonan ini. Karena pemberlakuan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan ini telah menyebabkan hak konstitusional Pemohon dirugikan atas pengakuan, jaminan perlindungan, kepastian hukum yang adil, dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945,” jelas Maqdir.(Lulu Hanifah/mh/mk/bhc/sya) |