Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
White Crime    
KPK
KPK: Penyuapan, Modus Korupsi Terbanyak
Thursday 17 Apr 2014 09:23:51
 

Ilustrasi. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.(Foto: BH/put)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Satu demi satu kasus korupsi terkuak yang melibatkan para penyelenggara di semua sektor ketatanegaraan; eksekutif, legislatif dan yudikatif. Berdasarkan data perkara yang ditangani KPK, penyuapan merupakan jenis tindak pidana korupsi yang paling banyak terjadi dengan 168 perkara, diikuti pengadaan barang dan jasa dengan 115 perkara dan penyalahgunaan anggaran dengan 38 perkara.

Bila dicermati, tren perkara penyuapan sejak 2007 cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Jumlahnya meningkat secara signifikan sejak 2010-2013 dengan 19 perkara, 25 perkara, 34 perkara dan 50 perkara pada 2013. Hal ini berbanding terbalik dengan pengadaan barang dan jasa, yang justru cenderung menurun.

Modus penyuapan pun kian beragam. Dari sejumlah kasus suap yang melibatkan penyelenggara negara, pengusaha, dan politikus, kebanyakan melakukan transaksi suap di luar negeri untuk mengakali kewenangan KPK yang tak bisa menangkap tangan pelaku kejahatan tersebut di luar negeri.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyebut modus lain, yakni dengan menaruh uang suap di mobil yang di parkir di sebuah tempat. “Nanti ada orang lain yang mengambil mobil beserta uang suap itu,” katanya beberapa waktu lalu.

Modus transaksi tunai ini memang dilakukan para penjahat kerah putih, karena tidak mungkin lagi melakukan secara transfer bank. Sebab, dengan mudah, KPK yang sudah bekerja sama dengan PPATK mengendus modus seperti ini.

Selain itu, ada cara lain yang dilakukan untuk mempermudah proses transaksi suap berlangsung, yakni penggunaan mata uang asing. Pecahan mata uang asing, sepeti dolar Amerika dan dolar Singapura dalam nilai besar, kata Bambang, dimaksudkan untuk menyiasati uang suap yang jumlahnya juga besar. “Jadi kalau suap miliaran, bisa dengan beberapa gepok uang dolar saja,” katanya.

Bila mencermati kasus korupsi yang terungkap, modus suap juga dilakukan dengan komunikasi simbol untuk menyamarkan aksi penyuapan. Belakangan, ini bisa dilihat dari sebuah kasus suap penegak hukum yang menggunakan simbol “emas 3 ton” untuk menyamarkan maksud uang suap 3 miliar rupiah untuk memenangkan sengketa sebuah pemilihan kepala daerah.

Sebetulnya, penggunaan bahasa simbol yang bermakna konotatif ini sudah digunakan pada sejumlah kasus sebelumnya. Misalnya, penggantian istilah uang dengan “apel”. Apel Washington untuk merujuk kepada dolar AS, dan apel Malang untuk uang rupiah. Tak hanya istilah apel dan emas, dalam kasus lainnya, uang juga diistilahkan dengan “pelumas”.

Tak hanya istilah uang, tetapi juga pihak yang menerima juga disamarkan. Dalam kasus lainnya, istilah “Kiai”, “Ustadz” dan “Pesantren” juga pernah digunakan. Istilah ini merupakan sandi bagi para penerima dana hasil proyek. Kiai merujuk pada para politikus di Senayan, ustadz untuk para pejabat di Kementerian Agama, sedangkan pesantren untuk partai politik.(kpk/bhc/sya)



 
   Berita Terkait > KPK
 
  KPK Bakal Terbitkan Sprindik Baru untuk Saksi Ahli Prabowo-Gibran di MK,Ali: Sudah Gelar Perkara
  Firli Bahuri Mundur sebagai Ketua dan Pamit dari KPK
  Polda Metro Tetapkan Komjen Firli Bahuri sebagai Tersangka Kasus Peras SYL
  Ungkap Serangan Balik Koruptor, Firli: Kehadiran Saya ke Bareskrim Bentuk Esprit de Corps Perangi Korupsi Bersama Polri
  KPK Serahkan Aset Rampasan Korupsi Senilai Rp57 Miliar kepada Kemenkumham RI dan Kementerian ATR/BPN
 
ads1

  Berita Utama
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan

Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah

Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua

 

ads2

  Berita Terkini
 
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

5 Oknum Anggota Polri Ditangkap di Depok, Diduga Konsumsi Sabu

Mardani: Hak Angket Pemilu 2024 Bakal Bikin Rezim Tak Bisa Tidur

Hasto Ungkap Pertimbangan PDIP untuk Ajukan Hak Angket

Beredar 'Bocoran' Putusan Pilpres di Medsos, MK: Bukan dari Kami

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2