JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Moratorium remisi koruptor yang direncanakan pemerintah itu, baru sekadar wacana dan belum memiliki ketetapan. Namun, jika sampai diberlakukan sangat jelas kebijakan tersebut merupakan bentuk diskriminatif terhadap warga negara dan melanggar hukum.
Demikian dikatakan pakat hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra kepada wartawan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (1/11). Yusri tidak sependapat dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Amir Syamsuddin tentang moratorium remisi koruptor dan teroris.
"Negara ini mau jadi negara hukum atau mau jadi seleranya penguasa? Rencana Menkumham dan Wamenkumham itu jelas-jelas melanggar hukum. Tidak sepatutnya hal itu dilakukan dalam sebuah negara hukum," jelas Yusril.
Menurut mantan Menteri Kehakiman dan Perundang-undangan itu, rencana pemerintah tersebut berpotensi melanggar hukum, karena bertentangan dengan UU yang berlaku dan tidak mencerminkan Indonesia sebagai negara hukum. Negara hukum itu menjunjung tinggi asas legalitas.
“Rencana itu bersinggungan dengan ketentuan dalam UU Pemasyarakatan, ketentuan dari peraturan pemerintah tentang remisi, pembebasan bersyarat dan asimilasi dan lainnya. Prinsipnya, semua napi memiliki hak mendapatkan remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat," imbuh mantan Mensesneg tersebut.
Jika pemerintah tetap bersikukuh melakukan moratorium, lanjut dia, hal itu akan melanggar konstitusi UUD 1945. Sebaiknya, pemerintah melakukan revisi terhadap peraturan UU yang mengatur mengenai remisi dan pembebasan bersyarat, sebelum melakukan moratorium bila tidak ingin melanggar hukum yang ada. "Keadilan harus ditegakkan, sekalipun kepada orang yang kita benci,” tandasnya.(dbs/wmr)
|