JAKARTA, Berita HUKUM - Kejagung telah menerima laporan LSM Realisasi Implementasi Pemberantasan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (RIP-KKN) terkait dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan lima operator seluler, PT XL Axiata Tbk, PT Indosat Tbk, PT Telkomsel Tbk, PT Bakrie Telecom Tbk, dan PT Smartfren Telecom Tbk (dahulu PT Mobile-8 Telecom Tbk).
Sesuai hitung-hitungan pelapor, kerjasama kelima operator dan ke-16 ISP diduga merugikan negara hingga Rp. 16,8 triliun. Pelapor menganggap, apabila menggunakan “kacamata” Kejagung, seharusnya kelima operator dan ke-16 ISP dapat dikenakan tindak pidana yang sama dengan Indosat dan PT Indosat Mega Media (IM2).
Ke-16 ISP yang diantaranya, CBN, Centrin Online, Cepatnet, Indonet, AT&T LSP, Sistelindo, BizNet, Central Online, IPNet, Jalawave, Radnet, IM2, Quasar, Andalas Internet, dan Lintasarta, menurut pelapor tidak pernah membayar BHP sejak tahun 2004. XL diketahui bekerjasama dengan Quasar, sedangkan Indosat dengan CBN.
Manajer Komunikasi XL Henry Wijayanto mengaku pihaknya sedang mempelajari laporan tersebut. Selama menjalankan kerjasama dengan semua mitranya, kata Henry, XL selalu patuh terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku. UU Telekomunikasi dan aturan-aturan lain dibawahnya selalu menjadi acuan XL dalam membina kerjasama.
UU Telekomunikasi jelas mengatur bentuk kerja seperti apa yang boleh dilakukan penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa telekomunikasi. “Bilamana ternyata ada yang melihat bahwa itu tidak sesuai, ya kita lihat saja nanti. Pokoknya kami sudah sesuai dengan semua regulasi,” kata Henry, Selasa (19/2).
Sebagai penyelenggara jaringan, lanjut Henry, XL memang dibebankan untuk membayar BHP. Pembayaran itu telah dilakukan, sehingga Quasar tidak lagi dibebankan membayar BHP. Sesuai ketentuan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, para ISP memang tidak dibebankan membayar BHP karena mereka merupakan penyelenggara jasa telekomunikasi.
Senada, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Indosat Adrian Prasanto juga mengatakan Indosat telah memenuhi semua kewajibannya, termasuk membayar BHP. Mengenai laporan dugaan korupsi atas kerjasama Indosat dengan CBN, dia menyerahkan kepada Kejagung. “Kita tunggu proses selanjutnya dari Kejaksaan Agung,” ujarnya, seperti yang dikutip dari hukumonline.com, pada Rabu (20/2).
Senin lalu, LSM RIP-KKN dan kuasa hukumnya Rolas Budiman Sitinjak menyampaikan laporan tertulis mengenai dugaan korupsi yang dilakukan lima operator seluler dan 16 ISP ke Kejagung. Kelima operator dan ke-16 ISP dianggap telah melakukan korupsi karena melaksanakan model kerja sama serupa Indosat dan IM2.
“Nah, ini ada beberapa perjanjian, antara lain Indosat dengan CBN, IM2 dengan Mobile-8, terus yang lebih lucu lagi Bakrie yang tidak ada izin ISP, tapi dia punya penyelenggara internet. Kok tidak diapa-apakan? Tapi, kerjasama IM2 dengan Indosat diacak-acak. Ini persamaaan di depan hukumnya bagaimana?,” tutur Rolas.
Untuk menguatkan laporannya, Rolas menyertakan 14 bundel dokumen, seperti UU Telekomunikasi, PP No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, Kepmen dan Permerkominfo terkait penggunaan pita 3G, serta White Paper BHP Pita Frekuensi Ditjen Postel tahun 2009 untuk FWA (Fixed Wireless Access).
Dalam kasus penyalahgunaan frekuensi 2.1 Ghz milik Indosat, penyidik telah menetapkan empat tersangka, dua diantaranya adalah korporasi. Indosat dan IM2 diduga menikmati keuntungan dari tindak pidana yang dilakukan mantan Direktur Utama IM2 Indar Atmanto dan mantan Direktur Utama Indosat Johnny Swandi Sjam.
Perkara Indar tengah disidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, sedangkan perkara Johnny masih di tahap penyidikan. Indar didakwa menyalahgunakan frekuensi 2.1 Ghz milik Indosat bersama-sama Johnny (Dirut Indosat periode 2007-2009), Harry Sasongko (Dirut Indosat periode 2009-2012), dan mantan Wadirut Indosat Kaizad Bomi Heerje.
Awalnya, Indosat mendapatkan izin penyelenggaraan setelah memenangkan tender jaringan bergerak seluler IMT-2000 pada pita frekuensi radio 2.1 GHz melalui jaringan 3G. Sebagai salah satu penyelenggara jasa telekomunikasi, IM2 hanya dapat melaksanakan kegiatan menggunakan jaringan tertutup sebagaimana diatur Pasal 33 ayat (1) Keputusan Menteri Perhubungan No. 20 Tahun 2001.
Lantaran ruang lingkup pelayanan terbatas, IM2 bekerjasama untuk menggunakan frekuensi 2.1 GHz/3G milik Indosat. Namun, kerjasama tersebut dipersoalkan karena Indosat dilarang mengalihkan penyelenggaraan jaringan bergerak seluler pada pihak lain tanpa seizin Menteri. Kerjasama ini juga dinilai tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan dan bertentangan dengan Peraturan Menkominfo No. 7 tahun 2006.
Sejak naskah kerjasama pertama kali ditandatangani, 24 November 2006 hingga 2011, IM2 maupun Indosat mendapat keuntungan Rp. 1,483 triliun. Sementara, biaya up front fee yang dibayar sekali dimuka untuk masa izin 10 tahun, serta BHP pita frekuensi selama 10 tahun sebesar Rp. 1,358 triliun.(hom/bhc/rby) |