JAKARTA, Berita HUKUM - Proyek-proyek infrastruktur yang selama ini dibiaya utang, harus diwaspadai dari ancaman gagal bayar. Sebaliknya, proyek infrastruktur ini harus mampu menjawab ketimpangan ekonomi yang terjadi.
Utang yang terus menumpuk hingga mencapai Rp 4.000 triliun yang salah satunya untuk membiayai pembangunan infrastruktur bisa berujung pada defisit APBN. Dalam lima tahun terakhir, defisit terus meningkat. Gap antara pendapatan, belanja, dan utang terus menganga. Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengemukakan hal ini dalam rilisnya yang diterima Rabu (18/10).
Saat ini ada beberapa BUMN yang melakukan pekerjaan infrastruktur dengan pembiayaan utang. Jika tidak dikelola dengan baik, ancaman gagal bayar bisa terjadi. "Jika gagal bayar, maka pada BUMN yang melakukan pinjaman harus melakukan right issue, atau minta disuntik dengan APBN lewat skema PMN. Artinya, kita akan terus-menerus terperangkap pada lingkaran setan liberalisme, utang-gagal bayar-utang lagi," tandas Heri.
Semangat yang tadinya ingin mengurangi beban APBN, kata Heri, justru menambah beban APBN. Heri berharap, setiap BUMN dituntut punya skenario manajemen risiko yang matang. Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah kemampuan pembiayaan infrastruktur yang bersumber pada penerimaan APBN. "Proyek infrastruktur jor-joran yang didasarkan pada studi kelayakan yang memakai asumsi-asumsi makro yang terlampau optimis bisa jadi blunder," ucap Heri.
Ditambahkan Anggota F-Gerindra ini, saat ini pertumbuhan belum dinikmati oleh mayoritas rakyat. Terbukti, rasio gini masih terbilang cukup tinggi, sebesar 0,39. Dengan rasio gini sebesar itu, pertumbuhan yang ada masih dinikmati oleh segelintir orang (1 persen orang menguasai 39 persen pendapatan nasional). "Ini mesti dijawab dengan model pembangunan infrastruktur yang berdampak pada pencapaian target pembangunan, terutama soal ketimpangan ekonomi," ungkap Heri.
Menurutnya, ketimpangan tersebut tak lepas dari adanya ketimpangan ketersediaan infrastruktur. Apalagi, struktur perekonomian nasional bergeser dari sektor pertanian-kehutanan-perikanan ke industri pengolahan serta perdagangan besar dan eceran. Dampaknya sektor-sektor lapangan usaha yang menyerap tenaga kerja yang besar tidak bisa berkembang, karena problem infrastruktur itu.
Di akhir rilisnya, mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR ini, mengimbau, pembangunan infrastruktur yang dibiayai dengan utang oleh BUMN harus tetap memperhatikan core competence masing-masing wilayah dan memperhatikan kemampuan penerimaan APBN yang realisasinya selalu melenceng dari target. Ini harus selalu terlihat pada analisa manajemen risiko proyek pembangunan infrastruktur yang ada.
"Kualitas infrastruktur harus merata dan terintegrasi. Harus pula tergambar dari studi kelayakan yang ada. Proyek infrastruktur harus mampu menjawab masalah ketimpangan yang ada. Misalnya, megaproyek di Jawa Barat seperti Bandara Kertajati senilai Rp 5 tiliun di Majalengka, Pelabuhan Patimban senilai Rp 43 triliun di Subang, jaringan kereta api (KA) cepat (high speed railway/ HSR) Jakarta-Bandung senilai Rp 66,3 triliun, dan KA ringan (light rail Iran-sit/LRT) Bandung Raya akan mampu menjawab ketimpangan ekonomi Jawa Barat yang masih sangat lebar, yaitu sebesar 0,402," terangnya.(mh,mp/DPR/bh/sya) |