JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Wahanan Lingkungan Hidup (Walhi) mengimbau Pemprov DKI Jakarta dalam perencanaan tata ruang dan pembangunan harus mengacu kepada UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penantaan Ruang dan UU Nonor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengeloloaan Lingkungan Hidup. Kedua UU itu harus terintegrasi dengan diawali proses perencanaan ruang yang berbasis kebutuhan warga kota.
Dalam siaran persnya, Senin (12/9), Walhi menyebutkan, kebutuhan warga kota yang dimaksud harus memnuhi enam indikator minimum. Antara lain, yakni Demokrasi Ruang dan Demokrasi Lingkungan; Pembangunan Berkelanjutan; Keadilan ruang dan Lingkungan; Transparansi dan akuntabilitas; Perlindungan Optimal Keanekaragaman Hayati dan keanekaragaman kebudayaan serta Penghormatan & Menjunjung Pemenuhan Hak Asasi Manusia.
Namun, faktanya dalam proses pembuatan Peraturan Daerah tentang RTRW Jakarta 2011-2030 tidak memenuhi seluruh kriteria perencanaan kota yang berkelanjutan. Secara konstitusional UU memandatkan bahwa proses reformasi penataan ruang yang prolingkungan dan pembangunan berkelanjutan berbasiskan pada tiga aspek hak warga Jakarta dalam proses perencanaan ruang kota. Ketiga aspek tersebut adalah Aspek Hak terhadap Informasi; Aspek Hak Peran Serta Masyarakat; dan Aspek Hak terhadap Keadilan.
Namun, dalam pandangan Walhi, ternyata sekali lagi pemprov DKI Jakarta melewatkan peluang emas untuk menyusun perencanaan kota yang adil dan lestari. Perda yang disahkan 24 Agustus 2011 itu, telah mengabaikan seluruh aspek hak masyarakat dalam perencanaan ruang dan pembangunan Jakarta dengan memasukkan pasal-pasal yang buruk dan bahkan inkonstitusional.
Seringkali banyak pihak hanya melihat eksekutif sebagai satu-satunya representasi dari perencanan kota yang berbasis pengelolaan lingkungan hidup, namun melupakan peran parlemen dan partai politik dalam menentukan kebijakan penataan ruang dan perlindungan serta pengelolaan lingkungan hidup di Jakarta.
Sesungguhnya platform partai yang menjadi basis dan arah kebijakan fraksi–fraksi dan kapasitas para legislator yang duduk dalam Parlemen Daerah DKI Jakarta bisa menjadi tolok ukur untuk menilai dan memprediksi wajah kebijakan penataan ruang, perlindungan serta pengelolaan lingkungan seperti apa di masa yang akan datang pasca munculnya Perda RTRW DKI Jakarta 2011-2030.
Secara subtansi Perda ini tidak mencerminkan upaya untuk memulihkan Jakarta dari bencana ekologis.Namun, kenyatananya justru sebaliknya. Pasal-pasal yang ada lebih tepat disebut sebagai upaya pemerintah untuk melanjutkan pemutihan seluruh pelanggaran pengelolaan ruang sebagaimana telah dilakukan oleh pemerintah periode sebelumnya. Hal ini bertentangan dengan aturan dalam Pasal 2 UU Nomor 26 Tahun 2007. Salah satu contohnya adalah perubahan peruntukan wilayah selatan yang seharusnya kawasan resapan air menjadi pusat perdagangan (pasal 145).
Munculnya pasal-pasal yang memasukkan proyek-proyek infrastruktur seperti jalan layang tol dan nontol, Reklamasi Pantai, Giant seawall, MRT, JEDI dan banyak lagi lainnya adalah bukti kuat bahwa pemerintah tidak pernah serius untuk menjadikan Jakarta lebih sehat dan manusiawi.
Praktik penggusuran ruang Terbuka Hijau dan pemukiman warga miskin masih menjadi ancaman bagi kota Jakarta. Sementara itu, inisiatif lokal warga untuk menjadikan Jakarta lebih lestari dan meningkatkan taraf kehidupan warganya justru tidak masuk dalam dokumen ini.
Lebih fatal lagi, pemahaman pemerintah DKI Jakarta baik eksekutif maupun legislatif dalam penyusunan kebijakan sangat buruk. Hal ini dibuktikan dengan dimasukkannya pasal-pasal tentang hak penguasaan perairan pesisir (HP3) yang sudah dicabut melalui keputusan Mahkamah Konstitusi(MK) atas gugatan uji material (Judicial Review) oleh KIARA, WALHI dkk.
Selain itu, dokumen ini memasukkan pasal-pasal yang mengatur reklamasi pantura (pasal 99 s.d 108 dan 178) yang dalam putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung telah mencabut AMDAL seluruh kegiatan reklamasi pantura. Selain itu, Perda ini tidak memasukkan peraturan-peraturan dasar perencanaan kota dalam konsiderannya.
Perda ini juga tidak memiliki konsep yang komprehensif untuk mengatasi polusi udara dan kemacetan. Dokumen ini justru memberikan “dasar hukum” pembenaran terhadap aktivitas pengusuran RTH dan penebangan pohon di berbagai penjuru kota Jakarta.
Untuk itu, masyarakat sipil Jakarta menyatakan bahwa Perda ini tidak layak dan inkonstitusional dan karenanya harus dicabut dan mengajak masyarakat untuk bersama-sama meminta kepada pemerintah untuk menghentikan seluruh proyek infrastruktur yang tidak ada korelasinya dengan upaya penyelamatan kota Jakarta.(woi/ans)
|