JAKARTA, Berita HUKUM - WORLD Economic Forum (WEF) merilis indeks daya saing atau Competitiveness Index 2016 negara-negara di dunia, Indonesia berada di peringkat ke-41, turun empat tingkat dari posisi tahun lalu di peringkat ke-37. Peringkat RI itu di bawah Malaysia (25) dan Thailand (34).
Indeks daya saing dirilis oleh WEF, Beberapa faktor yang membuat daya saing Indonesia turun, di antaranya adalah korupsi, inefisiensi birokrasi pemerintah, infrastruktur yang terbatas, akses pendanaan, inflasi, ketidakstabilan kebijakan, tingkat pajak dan lainnya.
"Itu merupakan PR (pekerjaan rumah) yang sangat serius bagi kita sebagai negara. Baik dari sisi korupsi, efektifitas, birokrasi bahkan termasuk tingkat pajak Indonesia dan pelayanan pajak," ungkap Sri Mulyani di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat malam (30/9).
Persoalan ini, kata Sri Mulyani akan segera dibenahi. Reformasi birokrasi tetap menjadi komitmen dalam menjalankan roda pemerintahan.
"Akan kami perbaiki. Walaupun (pajak) jauh di bawah masalah korupsi dan birokrasi. Kemenkeu akan terus komit pada reformasi birokrasi, karena sangat menentukan di dalam kemampuan kita menciptakan kepercayaan memperbaiki pelayanan dan kepastian usaha yang penting menciptakan indeks daya saing," tandasnya.
Sebagai informasi, Laporan Indeks Daya Saing WEF 2016-2017 ini memeringkat ekonomi di 138 negara, memberikan sudut pandang yang lebih mendalam terhadap produktivitas dan kemakmuran masing-masing negara.
Pada laporan kali ini, keterbukaan di masing-masing negara makin menyusut sehingga mengancam pertumbuhan dan kemakmuran. Tiga posisi paling puncak ditempati oleh Swiss, Singapura, dan Amerika Serikat (AS).
Indonesia juga masih kalah dari beberapa negara Asia lainnya, seperti Malaysia (25), Korea Selatan (26), China (28), Jepang (8), dan Thailand (34). Sementara di bawah Indonesia masih ada Filipina (57), Brunei Darussalam (58), dan Vietnam (60).
Sementara, situs resmi WEF, Kamis (29/9), mencatat sejumlah faktor penyebab turunnya peringkat daya saing RI, dengan memberinya skor, angka tertinggi berarti paling besar eksesnya. Faktor-faktor dimaksud dan skornya, korupsi (11,8), inefisiensi birokrasi pemerintah (9,3), infrastruktur yang terbatas (9,0), akses ke pendanaan (8,6), inflasi (7,6), dan ketidakstabilan kebijakan (6,5). Kemudian, buruknya etos kerja buruh (6,3), tingkat pajak (6,1), tenaga kerja pintar yang terbatas (5,6), kebijakan pajak (4,8), regulasi valas (4,6), ketidakstabilan pemerintahan (4,1), buruknya kesehatan publik (4,0), kejahatan dan pencurian (4,0), inovasi yang terbatas (3,7), serta peraturan buruh yang ketat (3,7). (detikfinance, 29/9)
Selain itu, pilar-pilar penopang daya saing RI juga banyak yang masih di bawah rata-rata Asia Pasifik (AP), yakni institusi (RI 4, AP 4,5), infrastruktur (RI 4,2, AP 4,8), pendidikan tinggi dan pelatihan (RI 4,5, AP 4,9), efisiensi buruh (RI 3,9, AP 4,6), kesehatan dan pendidikan dasar (RI 5,2, AP 6), dan efisiensi pasar (RI 4,5, AP 4,8)
Dari data WEF itu tampak dengan jelas apa saja yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global. Namun, yang dialami justru kemerosotan peringkat, bahkan empat poin dalam satu tahun. Di mata dunia tentu hal itu menjadi cerminan kondisi domestik Indonesia yang kurang baik.
Secara lebih rinci lagi, penurunan peringkat daya-saing Indonesia disebabkan oleh penurunan yang signifikan dari indikator Perilaku Etis Perusahaan, Kualitas Pasokan Listrik, Indeks Hak Hukum, dan Kepemilikan Investor Asing. Faktor penghambat daya-saing bisnisyang utamaadalahkorupsi, birokrasi pemerintah yang tidak efisien, dan infrastruktur.
GCI melengkapi pemeringkatan kemajuan setiap negara dibandingkan dengan negara lain dalam banyak aspek yang semakin banyak dilakukan, seperti Corruption Perceptions Index (Transparency International), Doing Business Indicator (Bank Dunia), Human Development Index (UNDP), The Climate Competitiveness Index (PBB), dll.(dbs/hns/detik/ampost/bh/sya) |