JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan mengungkapkan, per Maret 2016 total utang pemerintah pusat sudah mencapai Rp3.272 triliun yang terdiri dari pinjaman sebesar Rp750,16 triliun dan Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp2.521,66 triliun.
Jadi, lanjut dia, posisi tersebut sangat berisiko menjebak nilai tukar rupiah ke posisi paling dalam.
"Jika ditinjau lebih jauh, bunga utang sudah melebihi subsidi, terutama BBM yang selama ini dianggap oleh pemerintah sebagai beban paling besar pada belanja APBN," ungkap politisi Gerindra ini pada TeropongSenayan di Jakarta, Sabtu (4/6).
Mencermati hal tersebut, kata dia, Pemerintah seharusnya mencari jalan keluar lain dalam menutup pembiayaan defisit APBN yang di tahun 2016 sebesar 2,2%. Apalagi total utang pemerintah pusat sudah mencapai lebih dari Rp3000 triliun.
"Tidak ada dampak yang signifikan utang terhadap pengelolaan defisit APBN yang lebih baik," ujar eks Wakil Ketua Komisi VI DPR RI ini.
Seperti diketahui, kata dia, Tahun 2015 saja, realisasi defisit APBNP mencapai Rp292,1 triliun (2,93% dari PDB) meleset dari target sebesar 1,9% dari PDB.
"Lalu, apa relevansi utang selama ini," tanya dia.
Kalau dihitung-hitung, ungkap dia, proporsi pinjaman luar negeri lebih dari 90% dari total pinjaman pemerintah pusat. Itu terdiri dari pinjaman bilateral, multilateral, dan bank komersil.
"Ini tentu akan terus menggerus penerimaan hasil ekspor kita yang masih relatif stagnan, rasio utang terhadap penerimaan ekspor yang masih di atas 50%, dan juga cadangan devisa yang saat ini ada di posisi mengkhawatirkan dikisaran USD107 miliar," ujar dia.
"Kita bisa mengerti bahwa rasio utang terhadap PDB sebesar 30% masih terbilang relatif rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Tapi, mestinya, ruang tersebut harusnya bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan program-program pembangunan," tandas dia.
Tapi, kata dia, yang jadi masalah utang kian menumpuk, sementara di sisi lain proyek-proyek pemerintah belum menunjukkan progresifitas yang signifikan.
Menurutnya, sektor yang hari in masih jadi "anak tiri" adalah sektor pertanian-peternakan-kehutanan-perikanan sebagai sektor trategis yang hingga detik ini hanya menyumbang 15,4% atas PDB.
Penyebabnya, kata dia, sektor ini salah urus (lemahnya SDM, investasi, distribusi, teknologi dan koordinasi) sehingga produktifitasnya menurun.
"Padahal, tenaga kerja di sektor ini sangat dominan (di atas 50%). Mestinya, ruang utang itu ditujukan untuk pertumbuhan sektor-sektor strategis seperti ini. Sehingga, utangnya tidak sia-sia. Ditengah lesunya daya beli masyarakat, sangat ironis," terangnya.
Seharusnya, kata Heri, Di tengah ancaman defisit APBN yang makin besar itu, pemerintah mesti berhati-hati untuk mengambil pilihan berhutang.
Lebih-lebih, dominasi Surat Utang Negara (SUN) dalam utang pemerintah masih besar, yaitu sekitar 77% dari total utang, ungkap dia.
"Banjirnya aliran dana asing yang masuk ke pasar modal dan keuangan, khususnya ke instrumen surat utang negara (SUN), sedikit-banyak akan memberi risiko bagi keuangan nasional. Ujungnya, ekonomi nasional bisa roboh," tegas Heri.
Lebih dari itu, menurutnya, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai lebih dari Rp2.000 triliun menjadi pintu masuk kepemilikan asing terhadap kekayaan nasional.
"Karenanya, pemerintah harus berhati-hati dan menempatkan posisinya pada komitmen melindungi kepentingan nasional dari dampak buruk kepemilikan asing yang bisa disebut bubble itu," ujar dia.
Selanjutnya, kata dia, pemerintah mesti memberi perhatian pada posisi ULN yang masih didominasi oleh ULN jangka panjang. ULN berjangka panjang pada akhir triwulan I 2016 mencapai USD277,9 miliar atau 87,9% dari total ULN. Angka itu naik 7,9% (tahun ke tahun).
"Ini pasti jadi masalah dalam jangka panjang apalagi bunganya dalam bentuk bunga komersil," ungkap Heri.
Untuk diketahui, terang dia, posisi ULN sektor publik sebesar USD151,3 miliar (47,9% dari total ULN), sementara ULN sektor swasta mencapai USD164,7 miliar (52,1% dari total ULN). Posisi ULN yang masih didominasi oleh ULN sektor swasta sebesar 52,1% dari total ULN itu harus diwaspadai.
"Karenanya, pemerintah mesti merancang skenario antisipasi yang sungguh-sungguh atas komposisi debitur utang tersebut. Lebih-lebih, utang sektor swasta itu terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, serta listrik, gas dan air bersih yang sangat rentan," pungkas dia.(icl/teropongsenayan/bh/sya) |