JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyampaikan sejumlah catatan tentang persoalan utama utang Indonesia. Catatan pertama, menurut Anis, persoalan utama utang Indonesia adalah bagaimana agar penerimaan negara lebih dipacu dibanding utangnya. Sementara yang terjadi saat ini, utang tumbuh lebih tinggi, baik dibandingkan terhadap penerimaan negara maupun dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi.
"Sehingga Indonesia semakin terjebak dalam utang," ungkap Anis dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Negara/Ketua Bappenas, Rabu (23/6) yang membahas Manajemen Pinjaman dan Hibah Luar Negeri ini. Anis melanjutkan pada catatan kedua terkait dengan porsi utang. Porsi utang dalam valas memang menurun menjadi 13 persen dari total utang pemerintah.
Akan tetapi menurut Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini, nilai rupiah yang cenderung terdepresiasi menyebabkan utang negara semakin riskan, baik cicilan pokok maupun bunganya. "Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin kita masih mengatakan utang kita aman-aman saja," katanya.
Politisi PKS ini kemudian menegaskan bahwa perlu dilakukan kajian lebih dalam terkait rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang benar-benar mencerminkan kondisi riil. "Selama ini, perhitungan yang dilakukan hanya utang pemerintah pusat terhadap PDB. Sedangkan utang BUMN tidak dimasukan dalam hitungan. Praktek di negara-negara lain utang BUMN termasuk dalam kalkulasi rasio tersebut," ujar Anis.
Sejalan dengan itu, Anis menegaskan perlu klarifikasi apakah perhitungan rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB sudah apple to apple dengan perhitungan di negara lain? "Tidak masuknya utang BUMN dalam hitungan, menyebabkan rasio utang Indonesia menjadi cukup rendah. Ini perlu klarifikasi," pintanya.
Catatan keempat disampaikan Anis, terkait data rasio utang terhadap ekspor yang telah mencapai 209 persen. "Agar publik faham bahwa utang kita tidak baik-baik saja," tegasnya.
Sebagaimana diketahui rasio utang ini semakin mengkhawatirkan karena ekspor Indonesia menghadapi tantangan penolakan dari negara-negara lain dengan alasan lingkungan. Ekspor yang ditolak di negara lain itu seperti CPO dan batu bara.
Selain catatan di atas, Anis juga mengingatkan kekhawatiran BPK RI yang menyatakan meningkatnya utang pemerintah karena pandemi covid-19, sangat berbahaya. Dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa lalu (22/6/2021) BPK menyampaikan kekhawatirannya pemerintah tidak mampu membayar utang dan bunga utang, mengingat beberapa indikator yang cukup mengkhawatirkan.
Indikator pertama, tren pertumbuhan utang yang sangat jauh dibandingkan dengan pertumbuhan PDB dan indicator kedua rasio debt service Indonesia terhadap penerimaan sebesar 46,77, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen. Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan yang mencapai 19,06% juga melampaui saran IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen.
Dalam rapat ini, Anis meminta penjelasan lebih lanjut mengenai sumber pinjaman luar negeri baik dari bilateral maupun multilateral termasuk pinjaman dari negara lain. Legislator dapil DKI Jakarta I itu juga mengingatkan agar pemerintah lebih cermat dalam mengelola utang dan menentukan sumber pinjaman.
Berdasarkan penjelasan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa yang menyebutkan pinjaman luar negeri relatif memiliki bunga rendah. "Jika pinjaman luar negeri memiliki bunga yang rendah, seharusnya pemerintah tidak perlu menambah utang lewat SBN. Sehingga kita perlu tahu seberapa rendah bunga yang dimaksud," pungkas Anis.
Sementara, Hasil laporan keuangan pemerintah pusat tahun 2020 yang disampaikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI pada Rapat Paripurna lalu, terungkap utang pemerintah mencapai Rp6.074,56 triliun. Anggota Komisi XI DPR RI Achmad Hafisz Tohir juga menilai, besarnya utang tersebut mengindikasikan lampu merah bagi pemerintah. Kemampuan pemerintah membayar utang terus menurun.
"Melonjaknya utang pemerintah dan biaya bunga sudah lampu merah, karena melewati batas PDB (Produk Domestik Bruto). Jadi ini betul-betul gawat. Artinya, ruang fiskal sudah sempit," kata Hafisz dalam keterangan persnya, Kamis (24/6).
BPK dalam laporannya, mengungkap, rasio utang Indonesia terhadap penerimaan sudah tembus 369 persen atau jauh di atas rekomendasi International Debt Relief (IDR).
Standar IDR, lanjut Hafisz, untuk rasio utang yang stabil berada di 92-176 persen. Rasio utang yang terus meningkat 41.65 persen bisa membuat kemampuan pemerintah menurun untuk membayar utang dan bunganya. Sudah terjadi pula kelebihan ambang batas debt to service ratio yang direkomendasikan IMF (IDR) berkisar 25-35 persen. Saat ini saja telah mencapai 46.77 persen. "Sebetulnya ini sudah menjadi peringatan keras bagi pemerintah dalam pengelolaan keuangan, karena dapat menciptakan fraud," tandas politisi PAN itu.
Ditambahkan Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR ini, posisi utang pemerintah naik cukup tajam dibandingkan akhir 2019 lalu. Berarti setiap satu tahun, utang bertambah Rp1.296,56 triliun dari akhir 2019 yang tercatat Rp4.778 triliun, Pertumbuhan utang pemerintah selama lima tahun terakhir telah melebih pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product), sehingga menciptakan ruang debt yang tinggi.(mh/sf/alw/DPR/bh/sya) |