JAKARTA, Berita HUKUM - Ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) dalam Penjelasan Pasal 102 dan Pasal 103 mengatakan bahwa pemurnian produk pertambangan guna mengoptimalkan nilai tambah dari produk pertambangan dan menjamin tersedianya bahan baku industri logam nasional.
Pengamat energi Ryad Areshman mengatakan tersedianya bahan baku tersebut dapat berdampak pada peningkatan penerimaan negara dan penyerapan tenaga kerja. Menurutnya, salah jika ada yang menganggap ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba merupakan kebijakan yang inferior. “Justru ketentuan tersebut akan memperkuat pembangunan industri logam dan manufaktur yang solid. Bangsa Indonesia akan lebih berdaulat dan mandiri di sisi pengembangan sumber daya mineral tersebut,” ujarnya dalam sidang lanjutan perkara nomor 10/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Senin (22/9).
Dia mencontohkan alumunium yang merupakan unsur terbanyak ketiga di dalam lapisan kerak bumi setelah oksigen dan silikon. Alumunium ditemukan di kerak bumi sebanyak sekitar 8,1% sebagai mineral bauksit dan hanya ditemukan di tujuh negara di dunia. Bauksit di Indonesia, katanya, telah diekspor ke sejumlah negara maju untuk membangun industri konstruksi, manufaktur, dan industri bajanya. Akibat kegiatan ekspor tersebut, terjadi kelangkaan bahan baku bagi industri alumunium nasional. “Akibatnya, industri alumunium nasional mengimpor bahan baku alumina-nya dari negara lain. Sementara bijih bauksit yang kita produksi sendiri kita ekspor ke negara lain,” imbuhnya.
Padahal, menurutnya, apabila Indonesia mengolah bijih bauksitnya sendiri, nilai tambahnya bisa mencapai 180 kali lipat. Sehingga, kewajiban pengolahan dan pemurnian tidak akan menyebabkan terjadinya distorsi pada pertumbuhan ekonomi akibat adanya penurunan ekspor atau kehilangan tenaga kerja pada industri pertambangan.
Devisa Lebih Besar
Senada, Pengamat Ekonomi Universitas Gajah Mada Tony Prasetiantono mengatakan dengan kebijakan pemurnian sebelum mengekspor produk tambang, dalam jangka pendek Indonesia akan kehilangan devisa ekspor sebanyak USD 5 miliar. Namun, sambungnya, dengan proses nilai tambah, dalam jangka menengah dan panjang Indonesia akan memperoleh devisa lebih besar, yakni antara USD 25 miliar hingga USD 50 miliar. “Jumlah ini signifikan terhadap perekonomian nasional,” katanya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan defisit perdagangan yang mencapai USD 4 miliar pada tahun 2013 dan diperkirakan USD 2 miliar pada tahun ini, akan mudah diatasi jika Indonesia mengekspor mineral yang sudah diproses. “Momentum untuk pengubah posisi defisit neraca perdagangan ini hendaknya tidak disia-siakan begitu saja,” imbuhnya.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) yang diwakili kuasa hukumnya, Refly Harun menilai pemerintah tidak konsisten dalam mengimplementasikan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba. Kedua pasal diartikan oleh pemerintah sebagai larangan ekspor biji (raw material) secara langsung yang diberlakukan sejak 12 Januari 2014. Namun, tafsir pemerintah itu dinilai pemohon bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945.
“Inti dari peraturan pemerintah itu sesungguhnya tidak melarang ekspor, tapi muncul peraturan pemerintah terbaru No. 1 Tahun 2014 pada poin 59, misalnya di situ dikatakan bahwa pemegang IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang melakukan kegiatan penambahan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan dapat melakukan penjualan dalam jumlah tertentu. Jadi, satu dapat melakukan ekspor, ini cuma jumlah tertentu, kemudian jumlah tertentu itu dielaborasi lagi di dalam peraturan Menteri ESDM yang mengakibatkan ada yang boleh menjual, ada yang tidak,” ujar Refly.(Lulu Hanifah/mh/mk/bhc/sya) |