JAKARTA, Berita HUKUM - Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana dan sejumlah pemohon perseorangan memperbaiki permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Pemohon memperbaiki kedudukan hukumnya (legal standing), pokok permohonan, dan petitum permohonan.
Erasmus Napitupulu, Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 76/PUU-XII/2014 mengatakan telah memperkuat legal standing Pemohon. Dia menuturkan, Supriyadi Widodo sebagai pemohon perseorangan yang berprofesi sebagai advokat berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya lantaran pemberlakuan pasal 245 UU MD3. “Pasal a quo berpotensi menghambat kinerja pemohon dalam melakukan advokasi dan pendampingan hukum bagi korban tindak pidana untuk memperoleh prosedur keadilan,” ujarnya di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (10/9).
Sementara Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan sebagai Pemohon 2 yang bertugas mendorong transparansi dan akuntabilitas sistem peradilan pidana di Indonesia merasa Pasal 245 UU MD3 menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menggagalkan penegakan hukum terutama dalam hal penyelidikan dan penyidikan.
Secara substansi, Erasmus menilai UU MD3, khususnya Pasal 245 menghambat proses peradilan. Hal tersebut lantaran para penegak hukum untuk melakukan penegakan hukum pada anggota DPR harus melalui Mahkamah Kehormatan DPR. Padahal, Mahkamah Kehormatan Dewan tersebut merupakan lembaga etik yang bertugas menangani pelanggaran etik yang dilakukan para legislator dan tidak terkait pidana, sehingga antara etik dan pidana berjalan masing-masing.
Lebih lanjut, ketentuan tersebut berpotensi menjadi konflik kepentingan karena Mahkamah Kehormatan DPR diisi oleh angota DPR sendiri. Selain itu, aturan tersebut hanya berlaku untuk anggota DPR sehingga terdapat perlakuan berbeda antara anggota DPR dan masyarakat Indonesia pada umumnya. “Pemohon melihat hal itu berpotensi menghambat berjalannya proses hukum dan bertentangan dengan prinsip non diskriminasi dalam penegakan hukum sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945,” jelasnya.
Sedangkan Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XII/2014 M. Isnur mengatakan perbaikan permohonan yang diajukan antara lain penambahan alat bukti, memperkuat petitum, dan penulisan teknis permohonan.
Pada sidang perdana, para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 245 UU MD3. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk pembatasan dan intervensi yang dilakukan oleh lembaga di luar sistem peradilan pidana yaitu Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI dan berpotensi menimbulkan gangguan secara langsung atau tidak langsung terhadap kemerdekaan aparat penegak hukum. Pemohon menilai hal ini disebabkan oleh keharusan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan. Hal inilah yang dirasakan Pemohon akan menghambat penyidik melakukan pencarian dan pengumpulan bukti. “Dengan ketentuan tersebut, akan menghambat proses penyidikan yang juga akan menjadi beban terhadap APBN dan Pemohon merupakan pembayar pajak menjadi salah satu sumber APBN berkeberatan dengan hal tersebut,” paparnya.
Pemohon menilai tenggat waktu 30 hari dalam pasal tersebut, menjadi peluang bagi anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana untuk melakukan upaya penghapusan jejak tindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti. Seluruh hambatan ini secara jelas dapat disebut sebagai bentuk intervensi. Pemohon juga menganggap adanya tenggat waktu juga tidak sejalan dengan prinsip cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam proses peradilan pidana, dan memperlambat proses peradilan karena prosedur perijinan yang bertambah dan rumit, serta akan menambah biaya.
Pemohon juga mendalilkan UU tersebut melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum karena adanya tindakan diskriminatif bagi anggota DPR. Pemohon berpendapat bahwa anggota DPR sebagai subjek hukum, harus diberlakukan sama di hadapan hukum dan tidak diberikan keistimewaan saat menjalani proses hukum. Ketentuan ini menurut Pemohon bukanlah keistimewaan untuk menjaga harkat dan martabat pejabat negara, namun dapat berakibat terhampatnya proses hukum. Hal ini tentunya, bertentangan dengan prinsip non diskriminasi. “Atas dasar tersebut, Para Pemohon meminta MK untuk membatalkan ketentuan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” paparnya.(Hanifah/Anjarsari/mh/mk/bhc/sya) |