JAKARTA, Berita HUKUM - Tiga orang warga negara Indonesia, yaitu Yanda Zaihifni Ishak, Heriyanto, dan Ramdansyah mengajukan gugatan formil dan materiil terhadap UU No. 1 Tahun 2015. Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan No. 26/PUU-XIII/2015 digelar pada, Rabu (4/3) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Heriyanto dan Ramdansyah menyampaikan pokok-pokok permohonan di hadapan panel hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Heriyanto yang hanya didampingi Ramdansyah mengatakan pengesahan UU tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu Pilkada) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang tersebut cacat formil. Sebab, UU a quo dilahirkan tanpa memenuhi syarat kegentingan memaksa yang disyaratkan Pasal 22 UUD 1945. Pemohon yakin benar bahwa DPR selaku penggodok UU a quo sebenarnya tahu bahwa syarat kegentingan memaksa yang dapat dipakai untuk mengubah Perpu menjadi UU tidak terpenuhi dalam konteks ini.
Sementara itu, Pemohon yang diwakili Heriyanto juga menegaskan bahwa pengesahan UU a quo cacat materiil. Sebab, pengesahan UU a quo menyebabkan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) tidak berlangsung dengan demokratis. Sebab, Pemohon meyakini bahwa dalam UU yang disahkan pada 2 Februari 2015 oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly tersebut tidak memuat satu pun norma soal sanksi politik uang. “Orang nanti bebas membagi-bagikan uang tanpa takut dikenai sanksi, bebas jual beli partai, bebas menyalahgunakan jabatan,” ujar Heriyanto yang memastikan pihaknya memiliki kajian pasal per pasal dalam UU Penetapan Perpu Pilkada menjadi UU tersebut.
Meski UU a quo kemudian direvisi oleh Pemerintah dan DPR, namun Pemohon mengatakan keduanya telah gagal dalam melakukan revisi. Tidak hanya gagal, Pemohon juga mengatakan revisi yang dilakukan pembuat UU itu justru semakin merugikan akibat dimasukkannya ketentuan yang menyatakan Panwas di tingkat kabupaten/kota sebagai bawaslu kabupaten/kota. Menurut Pemohon kedua pengawas tersebut tidak bisa disamakan sebab memiliki nomenklatur yang berbeda. Bawaslu bersifat permanen sedangkan panwas bersifat ad hoc. Oleh karena itu, dalam petitumnya Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan UU a quo bertentangan dengan Konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang memimpin sidang menyampaikan saran agar Pemohon memperjelas legal standing yang dipakai. Meski dalam permohonan para Pemohon menyatakan memiliki kedudukan hukum sebagai warga negara, pembayar pajak, dan selaku pengajar namun hal tersebut dirasa belum cukup. Sebab menurut Patrialis, Pemohon harus bisa meyakinkan dengan sungguh-sunggu kerugian konstitusional yang dialami terkait dengan kedudukan hukum yang dimiliki.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang bertindak sebagai anggota panel hakim. Palguna mengatakan bila Pemohon menggunakan legal standing sebagai warga negara Indonesia maka Pemohon perlu memaparkan dengan rinci hak-hak apa saja yang dimiliki oleh Pemohon selaku warga negara Indonesia yang terlanggar akibat disahkannya Perpu Pilkada menjadi UU.(YustiNurulAgustin/mk/bhc/sya) |