JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menyatakan bahwa revisi terhadap UU Nomor 32/2002 tentang KPK belum perlu dilakukan. Pasalnya, lembaga yang dipimpinya ini masih bisa melaksanakan pekerjaannya seperti yang diatur dalam UU KPK yang ada.
Ia pun menegaskan, tak ada kendala apa pun selama bekerja dengan UU tersebut. "Kami sebagai pelaksanaan UU itu masih merasa bisa melaksanakan tugas sesuai UU dan tidak terkendala. Apalagi kendala politik, sama sekali tidak ada," jelasnya dalam rapat bersama Komisi III di gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (26/10).
Sedangkan Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah mengatakan, pihaknya masih belum membahas tentang perubahan atau revisi UU KPK. Kalau memang UU KPK harus direvisi, hendaknya niat tersebut tidak mengandung unsur emosi. “Jika ingin merubah UU KPK, jangan merupakan suatu reaksi yang bersifat emosional,” tandasnya.
Sementara pimpinan KPK lainnya, Bibit Samad Rianto menegaskan, tidak ada urgensi untuk melakukan revisi terhadap UU KPK. Diirnya pun menentang keras gagasan penambahan kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), karena akan membuka peluang korupsi.
“Apa alasannya untuk mengubah UU KPK? KPK sudah berjalan baik, kecuali kalau memang KPK mandul. Jangan gara-gara KPK terlalu keras, lalu mau direvisi. Itu emosional namanya,” ujarnya menyindir para anggota Komisi DPR yang ngotot untuk mengubah UU KPK.
Menurut Bibit, gagasan beberapa fraksi untuk menambahkan kewenangan penerbitan SP3, justru untuk membonsai KPK. Pasalnya, kewenangan itu akan membuka peluang transaksi. “SP3 dan penangguhan penahanan justru melemahkan KPK dan akan membuka peluang kongkalikong penyidik dengan pihak tersangka. Bukan rahasia lagi bahwa penerbitan SP3 itu pakai duit,” ujarnya.
Bibit mengungkapkan, setiap kasus yang diteruskan KPK ke penyidikan, sudah pasti memenuhi alat bukti. Jika bukti tidak memadai, KPK akan menghentikan kasus diproses penyelidikan dan tidak menetapkan tersangka. “Hal ini yang biasa kami lakukan di KPK. Buat apa harus ada SP3,” tegas dia.
Wakil Ketua KPK ini juga mengkritisi DPR yang ingin memperkuat KPK dengan kewenangan pencegahan. Hal itu pun dianggap tidak perlu, karena KPK selama ini sudah banyak melaksanakan fungsi pencegahan. “Sudah ada pelaporan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara-red), pelaporan gratifikasi, pendidikan dan pelayanan. Mengapa banyak anggota DPR yang kena? Tentu DPR sendiri yang harus mencegahnya, agar tidak terjadi korupsi,” imbuh Bibit. .
Kekuatan Besar
Pada bagian lain, Ketua KPK Busyro Muqoddas menyatakan, pihaknya belum juga mengetahui keberadaan tTersangka kasus cek pelawat Nunun Nurbaeti Daradjatun. Kepergian Nunun yang dikabarkan melarikan diri ke luar negeri itu, mendapat perlindungan kekuatan keamanan tertentu.
"Nunun (sulit ditangkap) karena ada kekuatan-kekuatan besar. Hal inilah yang membuat KPK hingga kini belum dapat menghadirkan Nunun yang katanya sedang berada di luar negeri," ujar dia.
Tapi Busyro enggan menerangkan kekuatan yang dimaksudkannya tersebut. Kemungkinan bisa saja datang dari penguasa atau kekuatan politik tertentu. "Saya tidak tahu. Tapi, informasi yang saya terima menyebutkan ada kekuatan keamanan tertentu. Soal dari mananya, hinga kini belum jelas," ungkapnya.
Busyro membandingkan dnegan penangkapan Nazaruddin. Tersangka kasus Wisma Atlet tersebut berhasil ditangkap, karena tidak ada kekuatan tertentu di balik pelariannya ke luar negeri. "Lihat aja kasus (pelarian) Nazaruddin. Jika tidak ada kekuatan tertentu di balik Nazaruddin, dia pun dengan mudah bisa ditangkap dan dipulangkan ke Tanah Air," selorohnya disambut anggukan kepala sebagian anggota Komisi III DPR tersebut.(mic/rob)
|