JAKARTA, Berita HUKUM - Sepanjang Januari hingga Juni 2018, Komisi Nasional Perlindungan Anak telah menerima pelaporan masyarakat, khususnya dari ibu-ibu terhadap 21 anak kasus korban ketergantungan "gajet". Bentuk ketergantungan anak terhadap gajet ditunjukkan jika anak dilarang menggunakannya akan bertindak agressif. Seperti berteiak-teriak, menangis, menjerit, bahkan melempar barang apa saja yang ada didekatnya.
Namun, kemuka Arist Merdeka Sirait sebagai Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak apabila anak diberikan akses menggunakannya, secara spontan, anak akan diam. Usia anak tergantung terhadap gajet dan media sosial yang diperiksa rata-rata berusia dibawa lima tahun atau balita.
"Ironinya 2 dari 21 anak yang dilaporkan, jika dilarang dan dibatasi menggunakan gajet atau hanphone, cenderung mengancam ibunya dengan cara membenturkan- benturkan kepala ke tembok," ungkap Arist Merdeka Sirait di Jakarta, Sabtu (21/7).
Itu artinya gadget /gajet atau media sosial bagi anak balita yang dlaporkan memunculkan bentuk kekerasan baru tersembunyi, bahkan telah menjadikan gajet atau media sosial sebagai "candu dan kesenangan".
Untuk menjawab dan memberikan kesenangan bagi anak, 21 anak yang dianalisis mesti diberi akses berselancar dengan media sosial. Dengan demikian, anak telah tergantung dan telah pula menjadi budak media sosial dan gajet yang tidak tertinggalkan.
"Yang cukup memprihatinkan dan wajib menjadi perhatian, 8 dari 21 anak balita tergantung gajet tersebut telah menjadikan pornografi sebagai kesenangan atau candu, kata Arist.
Dengan mudah Anak mengakses pornografi dari berbagai aplikasi dan program seperti Yutube, animasi serta program aplikasi lainnya. Anak-anak engan mudahnya bisa mengakses tayangan apa saja yang dibutuhkan anak menjawab kesenangannya.
Dalam kondisi seperti ini, dan berbagai dampak buruk penggunaan media sosial yang tidak dilakukan secara cerdas, dirasa tidaklah berlebihan bila Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia sebagai lembaga independen diberikan tugas dan fungsi memberikan pembekalan dan perlindungan anak di Indonesia menyatakan, kemuka Arist bahwa saat telah terjadi Tsunami media maya yang menimbulkan bentuk kekerasan baru terhadap anak yang tersembunyi.
Oleh sebab itu, untuk memutus mata rantai perbudakan dunia maya terhadap anak serta ketergantungan anak terhadap gajet, bersamaan dengan Peringatan Hari Anak Nasional 2018, Komnas Perlindungan Anak dan mitra kerjanya Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di seluruh nusantara mengajak keluarga, masyarakat dan pemerintah untuk menyelamatkan anak dari ketergantungan dan budak gajet dengan mendorong pemerintah membuat regulasi terhadap aplikasi dan program media sosial yang tidak mendidik dan dapat mengurangi kualitas hidup anak.
Dalam hal ini orangtua, keluarga dan masyarakat dituntut menciptakan dan menjadikan rumah yang ramah dari dampak negatif penggunaan dunia maya dan terbebas dari ketergantungan dan budak media sosial.
"Fenomena ketergantungan anak terhadap gajet dan dunia maya menuntut untuk menyelamatkan anak-anak balita dari ketergantungan dan budak gajet dan dunia maya," demikian disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak kepada berbagai media di Jakarta dalam memperingati Hari Anak Nasional 2018.(wa/bh/mnd) |