JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Wahana Lingkunga Hidup ( WALHI) cabang Aceh, mengapresiasi langkah tim gabungan yang terdiri dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) ,Mabes Polri dan Kejaksaan Agung. Melaksanakan kunjungan ke Aceh dalam rangka mengumpulkan keterangan terkait dugaan pelanggaran operasional perusahaan sawit di area hutan gambut Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh.
Seperti yang dilansir dalam pers rilisnya, Rabu (2/5). Direktur Eksekutif Walhi, Teuku Muhammad Zulfikar, menilai kunjungan Tim Gabungan ini sebagai sebuah langkah maju bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia. “ Pemerintah perlu segera mengumumkan dukungannya terhadap penegakan hukum Indonesia, “ujarnya.
Zulfikar menambahkan, jika Pemerintah tidak beraksi cepat, dalam melindungi hutan Tripa. Maka keadananya akan semakin hancur. “Lingkungan akan terus bertambah rusak, hutan akan semakin hancur, sumber ekonomi rakyat akan hilang dan populasi orangutan sumatera yang unik dan sangat terancam punah di Tripa, yang akan segera punah di akhir tahun ini, dengan kondisi rasio kerusakan yang berkelanjutan seperti saat ini,” tambahnya.
Sementara itu, Deputy V Bidang Penataan Lingkungan KLH, Sudariyono menyebutkan sedikitnya lima indikasi pelanggaran yang terjadi. Pertama, ada indikasi pembukaan lahan gambut baru seluas 1.605 hektar tanpa melalui proses izin yang benar.
“Saat ini diperkirakan dari sekitar 61.000 hektar gambut, separuh lebih atau sekitar 35.000 hektar beralih dari hutan gambut menjadi perkebunan sawit. Kedua, ada berbagai kegiatan yang masuk kawasan ekosistem Leuser. Pelanggaran itu merusak kawasan yang dikonservasi. Ketiga, adanya pembakaran untuk pembukaan lahan gambut. Keempat, kegiatan pengolahan sawit menghasilkan limbah pencemaran lingkungan. Dan dugaan pelanggaran yang kelima adalah adanya aktivitas/kegiatan di atas lahan gambut yang memiliki batas kedalaman lebih dari tiga meter,” ungakap Sudariyono.
Sementara itu Jaksa A Kadir dari Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung mengatakan, tuntutan atas kerugian negara yang disebabkan aktivitas perkebunan sawit di hutan gambut Rawa Tripa akan dijalankan, baik secara pidana maupun perdata.
Sebelumnya berbagai LSM dan masyarakat yang bergabung dengan berbagai organisasi lingkungan menyampaikan dalam berbagai kampanye terkait perlindungan dan penyelamatan hutan gambut Rawa Tripa menyusul laporan tentang meningkatnya intimidasi terhadap masyarakat lokal setempat oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dan tentang masalah kesehatan yang berkaitan dengan asap akibat pembakaran ilegal yang dilakukan untuk membersihkan kawasan lahan gambut, di mana beberapa anggota masyarakat dari sekitaran Tripa membutuhkan perawatan medis. Masyarakat setempat telah kehilangan sumber mata pencaharian mereka akibat pembukaan besar-besaran terhadap kawasan lahan basah yang unik tersebut untuk perkebunan sawit yang saat ini sangat mengancam terjadinya kerusakan total kawasan tersebut.
Berbagai kebakaran besar telah dilaporkan oleh pengamat baik di lapangan maupun dari udara pada akhir Maret, dan lebih dari 100 titik api telah teridentifikasi oleh satelit dalam kurun waktu hanya 10 hari, frekuensi titik api tertinggi yang terekam di Tripa sejak 2001.
Ketua Satgas REDD+ Ir. Kuntoro Mangkusubroto dalam media rilis tanggal 13 April lalu melaporkan bahwa tim investigasi yang dibawahinya telah menemukan bahwa pembakaran telah sengaja dilakukan di dalam kawasan konsesi PT. Kallista Alam dan PT. Surya Panen Subur 2, melanggar beberapa pasal hukum dan peraturan serta menyebabkan dampak yang merugikan terhadap lingkungan. Kebakaran yang terjadi menarik perhatian dunia ketika para ahli orangutan sumatera memperingatkan akan terjadinya kepunahan yang pasti akan terjadi sebelum akhir 2012 terhadap spesies yang ada di Tripa.
Pak Ibduh, kepala salah satu desa di Tripa yang mewakili masyarakat lokal setempat menambahkan “Masyarakat hidup dalam ketakutan terhadap perusahaan. Mereka (perusahaan) menggunakan Brimob sebagai satuan pengamanan, memindahkan masyarakat dari lahannya, menghalangi akses melewati perkebunan dan membersihkan perkebunan masyarakat untuk kelapa sawit mereka. Para perusahaan perkebunan kelapa sawit beroperasi layaknya mereka berada di atas hukum dan kami melihat hasil perbuatan mereka setiap hari. Air bersih menjadi sulit didapat dan juga sangat sulit untuk mendapat ikan serta mengambil hasil alam lainnya karena hutan telah dibabat dan lahan dikeringkan melalui banyaknya kanal-kanal yang dibangun. Masyarakat kami menderita dan kami menginginkan aksi cepat untuk menghentikan semua ini dan untuk merehabilitasi hutan Tripa”.
Pak Ibduh bersama seorang pengacara, Kamaruddin, dan seorang mantan anggota DPD asal Aceh, Adnan NS, telah melaporkan tindakan pidana kriminal terkait kasus Tripa ke Polri di Jakarta pada November tahun yang lalu. “Pihak Polri kemudian mengeluarkan surat kepada Polda Aceh yang mengkonfirmasikan bahwa subyek pelaporan memenuhi kriteria pidana kriminal, tapi hingga saat ini, 5 bulan setelah kasus tersebut dilaporkan, kami tidak melihat satu pun upaya investigasi yang dilakukan oleh Polda Aceh”, ujar Kamaruddin.
Dalam rilis media tanggal 13 April lalu, Ir. Kuntoro Mangkusubroto juga mengumumkan bahwa tim investigasi yang dbawahinya telah melaporkan indikasi-indikasi adanya pelanggaranpelanggaran lain seperti alih fungsi lahan hutan rawa gambut di dalam Kawasan kosystem Leuser, alih fungsi lahan gambut dalam dan pembersihan hutan sebelum izin dikeluarkan. Beliau juga telah secara resmi meminta kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Polri untuk segera melakukan investigasi. Empat hari kemudian, pada tanggal 17 April, harian The Jakarta Globe melaporkan bahwa Menteri Lingkungan Hidup akan melakukan investigasi terhadap keluarnya izin konsesi di dalam kawasan hutan rawa gambut Tripa di Provinsi Aceh.
Berbagai LSM dan organisasi lingkungan juga telah berkumpul dan mendukung sepenuhnya himbauan Satgas REDD+ untuk segera dilakukan investigasi terhadap tindakan kriminal yang dilakukan di Tripa, termasuk terhadap laporan yang disampaikan oleh Pak Ibduh ke Polri pada November tahun lalu, serta meminta penjelasan mengapa laporan tersebut tidak ditindak lanjuti dengan baik. Gabungan LSM peduli lingkungan dan juga Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) juga telah menyatakan dukungan penuhnya terhadap WALHI melalui WALHI Aceh dalam melakukan gugatan hukum yang saat ini sedang dalam proses banding di PTUN Medan terhadap dikeluarkannya izin konsesi kepada PT Kallista Alam oleh mantan Gubernur Aceh.
Untuk itu WALHI Aceh mengharapkan kepada Tim Gabungan yang hari ini sudah mulai turun ke lokasi serta kepada pihak-pihak Kementerian Nasional yang bertanggung jawab, yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, agar segera memerintahkan penghentian pembukaan dan pendegradasian lahan di dalam kawasan rawa gambut Tripa. Kami juga meminta agar para Kementerian tersebut mendampingi Polri agar segera mengimplementasikan investigasi yang menyeluruh terhadap aktivitas-aktivitas dan kesepakatan-kesepakatan ilegal yang telah diterapkan di kawasan rawa gambut Tripa, termasuk izin konsesi serta praktek-praktek ilegal dari PT. Kallista Alam yang melanggar undang-undang tentang Tata Ruang dan tentang perlindungan terhadap Ekosistem Leuser, terhadap lingkungan hidup, lahan gambut, satwa yang terancam punah dan larangan pembakaran lahan hutan.
Tentunya kita semua ingin melihat hukum di Indonesia ditegakkan, termasuk berbagai kebijakan dan hukum terkait lingkungan hidup. Tentunya dengan kunjungan Tim Gabungan ini dipandang sebagai sebuah langkah maju bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Pemerintah perlu segera mengumumkan dukungannya terhadap penegakan hukum Indonesia, perlindungan Tripa dan masyarakat di sekitarnya serta populasi orangutan sumatera di dalamnya. Tanpa aksi cepat, lingkungan akan terus bertambah rusak, hutan akan semakin hancur, sumber ekonomi rakyat akan hilang dan populasi orangutan sumatera yang unik dan sangat terancam punah di Tripa, yang akan segera punah di akhir tahun ini dengan kondisi rasio kerusakan yang berkelanjutan seperti saat ini.(wlh/coy)
|