Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Pemilu    
Pemilu
Tiga Pakar Bicara Soal Pemilu Serentak
2020-01-15 13:35:00
 

Ramlan Surbakti ahli yang dihadirkan Mahkamah Konstitusi dan Mantan anggota Panwaslu, Didik Supriyanto yang dihadirkan pemohon saat memberikan keahliannya dalam sidang perkara pengujian UU Pemilihan Umum, Senin (13/1) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.(Foto: Humas/Gani)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Tiga orang ahli menyampaikan keterangan dalam sidang lanjutan pengujian ketentuan mengenai "pemilu serentak" dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang Perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019 dan Perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 ini digelar pada Senin (13/1/2020), di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Persidangan dua perkara ini digabung karena adanya kesamaan materi yang diuji.

Adapun materi UU Pemilu yang diujikan ke MK yaitu Pasal 167 ayat (3) sepanjang frasa "pemungutan suara dilaksanakan secara serentak", Pasal 347 ayat (1) frasa "pemungutan suara pemilu diselenggarakan secara serentak".

Selain menguji materi UU Pemilu, Pemohon Perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 juga menguji ketentuan pemilihan serentak Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).

Tiga orang ahli yang dihadirkan dalam persidangan yaitu Didik Supriyanto, Khairul Fahmi, dan Ramlan Surbakti. Mantan anggota Panwaslu, Didik Supriyanto dalam kapasitasnya sebagai ahli yang dihadirkan Pemohon, dalam keterangannya di persidangan mengatakan pemilu serentak mendorong pemerintahan kongruen karena terpaksa parpol-parpol menggalang koalisi sebelum pemilu.

"Pemilu serentak menimbulkan multi efek yaitu kecenderungan pemilih Presiden dan kepentingan Presidennya berpengaruh pada pemilihan dan keterpilihan anggota parlemen. Keterpilihan calon Presiden A mempengaruhi keterpilihan calon anggota parlemen dari partai atau koalisi partai yang mengajukan calon Presiden A," urai Didik. kepada Majelis Pleno Hakim Konstitusi..

Dikatakan Didik, pemerintahan yang tidak efektif pada era Presiden SBY adalah akibat pemisahan pemilu presiden dan pemilu legislatif yang melahirkan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. "Putusan itu menyatakan bahwa pemisahan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak konstitusional. MK memerintahkan agar kedua jenis pemilu itu dilaksanakan serentak pada 2019. Tujuan putusan itu adalah untuk menguatkan sistem presidensiil," ungkap Didik.

Namun dalam praktiknya, sambung Didik, dalam Pemilu Serentak 2019 hanya menyertakan pemilu presiden dan pemilu legislatif tanpa menyertakan pemilu kepala daerah. Hal ini menyebabkan keterbelahan kondisi pada tingkat pemerintahan provinsi maupun kabupaten/kota.

"Belajar dari Pemilu 2019, solusi keterbelahan pemerintahan provinsi, kabupaten/kota adalah menyertakan pelaksanaan pemilihan kepala daerah untuk pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Oleh karena itu perlu dilakukan pemilu serentak total nasional," imbuh Didik.

Pemohon juga menghadirkan pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Khairul Fahmi. "Pemilu serentak dengan lima kotak memiliki berbagai persoalan yang cukup serius sehingga membutuhkan evaluasi yang menyeluruh. Persoalan tersebut tidak hanya terkait manajemen teknis dan pelaksanaan, melainkan juga berhubungan dengan subtansi pemilu yaitu kemurnian hak pilih warga negara sebagai wujud konkret kedaulatan rakyat," ucap Khairul.

Ditambahkan Khairul, Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang memerintahkan pemilu serentak pada 2019 sesungguhnya mendapat dukungan luas dari para pemikir hukum tata negara, pakar politik bahkan juga publik.

"Dari putusan tersebut, argumentasi MK yang paling mendapat dukungan adalah alasan keterkaitan desain sistem pemilu dengan sistem pemerintahan presidensiil. Desain keserentakan pilpres dengan pemilu legislatif akan berkontribusi untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensiil," papar Khairul.

Pada persidangan ini, MK menghadirkan seorang ahli, yakni Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Periode 2004-2007, Ramlan Surbakti. Ramlan menyoroti banyaknya masalah muncul saat proses penghitungan suara, penyusunan protokoler dokumen, serta pemborosan sumber daya manusia dan dana.

"Proses pemungutan dan penghitungan suara harus dilakukan secara transparan, disaksikan oleh para saksi, pengawas, lembaga pemantau, dan semua masyarakat bisa hadir di luar TPS. Itulah yang harus diperhatikan," tegas Ramlan.

Namun, kata Ramlan, kalau pemilu dilakukan secara serentak akan mengakibatkan proses penghitungan suara memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit pula.

Sebagaimana diketahui, permohonan Perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019 diajukan oleh Arjuna Pemantau Pemilu dan beberapa Pemohon lainnya terkait evaluasi pelaksanaan pemilu serentak. Para Pemohon mendalilkan, fakta secara empiris menunjukkan penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 memakan banyak korban penyelenggara pemilu.

Menurut para Pemohon, kondisi sosial politik dan fenomena masyarakat saat ini mengarah kepada tuntutan untuk mengevaluasi pelaksanaan pemilu serentak. Berdasarkan data Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), total korban yang meninggal dunia adalah 554 petugas penyelenggara pemilu (KPPS, Panwaslu dan Polisi) dan 3.788 petugas penyelenggara pemilu (KPPS, Panwaslu dan Polisi). Bahkan MER-C sampai menetapkan jatuhnya korban-korban pada pemilu 2019 sebagai bencana kemanusiaan.

Lainnya, menurut para Pemohon, terjadi pembengkakan anggaran sebesar 9,8 triliun rupiah untuk penyelenggaraan pemilu serentak. Hal tersebut telah mengingkari amanat Pasal 28H ayat (1) juncto. Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 karena anggaran tersebut diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari pajak warga negara yang seharusnya penggunaannya sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Sedangkan Perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Pemohon mendalilkan, desain pelaksanaan pemilu lima kotak akan berakibat kepada lemahnya posisi Presiden untuk menyeleraskan agenda pemerintahan serta agenda pembangunan, karena pemilihan kepala daerah dengan DPRD tidak diserentakkan.

Di samping itu, menurut Pemohon, kepala daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat sekaligus sebagai penyelenggara otonomi daerah untuk tujuan pembangunan nasional, akan menghadapi perubahan konfigurasi politik yang berubah-ubah ketika pemilihan kepala daerah tidak diserentakkan dengan pemilihan anggota DPRD, baik ditingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten/kota.

Pemohon juga beranggapan, sistem pelaksanaan pemilu dengan memilih lima jenis pemilihan secara sekaligus telah dilaksanakan pada Pemilu 17 April 2019, telah terbukti menimbulkan banyak persoalan sebagai akibat dari kerangka hukum pemilu yang tidak disiapkan secara baik dan terukur, serta tidak berlandaskan pada asas pemilu. Selain itu menurut Pemohon, "Pemilu Lima Kotak" memperbesar suara tidak sah dan menurunkan derajat keterwakilan.(mkri/bh/sya)



 
   Berita Terkait > Pemilu
 
  Usai Gugat ke MK, Mahfud MD dan Ari Yusuf Amir Adakan Pertemuan di Rumah Ketua MA?
  PKB soal AHY Sebut Hancur di Koalisi Anies: Salah Analisa, Kaget Masuk Kabinet
  Daftar Lengkap Perolehan Suara Partai Politik Pemilu 2024, Dan 10 Partai Tidak Lolos ke Senayan
  DPD RI Sepakat Bentuk Pansus Dugaan Kecurangan Pemilu 2024
  Nyaris Duel, Deddy Sitorus PDIP dan Noel Prabowo Mania saat Debat di TV Bahas Pemilu
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2