JAKARTA, Berita HUKUM - MS Kaban menyampaikan bahwa kalau menyangkut pungutan untuk ekpor dihapuskan saja, karena menguntungkan pihak konglomerat (pengusaha), itulah pandangannya saat menjadi narasumber di acara sesi diskusi bertajuk, "Pungutan Ekspor, 50 US$ / ton Mencekik Petani Sawit, Modus Baru Menguasai Lahan Petani Miskin dan Perampokan Uang Rakyat Kecil Atas Nama Dana Ketahanan Energi," yang digelar oleh Institut Soekarno Hatta ( ISH) di restoran Pempek Kita, Jalan Tebet Timur Dalam, Jakarta Selatan pada, Selasa (26/1).
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Pemanfaatan Dana Kelapa Sawit dianggap hanya merugikan para petani sawit.
Menurutnya, selain pungutan tersebut tidak ada kaitannya dengan petani dan yang menikmati grup-grup besar (pengusaha) Eksportir, seperti Sinar Mas, dst. Kalkulasi pungutan Ekspor 50 US$/ton ini saja asumsi saat itu dengan harga minyak 90 US$/barrel.
"Saat ini harga minyak goreng di dalam negeri cenderung stabil, kan biasanya rumus CPO disesuaikan dengan harga Minyak Goreng. Petani seharusnya menerima Rp 1.500 hingga 2.000/kg. Dimana sekarang harga di Pabrik 1.500. Petani kasian," jelas M.S Kaban.
Jika ditinjau lagi kondisinya, "Belum lagi sekarang, petani bayar pupuk, upah dodos, upah angkut, belum lagi kutipan-kutipan di tengah jalan, belum lagi uang antri," ungkap Dr. H. MS Kaban S.E., M.Si mantan Menteri Kehutanan pada tahun 2004-2009 itu.
Selain itu, iapun menyarankan agar nantinya komposisi penguasaan lahan untuk kedepannya mesti dirubah. Dimana jumlah luas lahan sawit (CPO) Perusahaan itu 60% lahannya. Seharusnya dirubah saja, dimana Pengusaha itu punya pabrik saja. dan Petani yang memiliki lahan.
"Jadi betul-betul untuk rakyat. Perlu ada 'Revolusi Penguasaan Lahan'. Jadi kedepannya nanti, seluruh pemegang kepemilikan lahan kecenderungan untuk dirubah. Dimana yang sudah habis HGU (Hak Guna Usaha)-nya di stop saja," tegas M.S Kaban.
"Bayangkan nilai 5 ha, dengan produksi 2 ton/ha. Bisa menghasilkan 10 ton, dan jika perton sejuta, petani bisa menghasilkan 10 juta perbulan, dan itulah hasilnya untuk rakyat. Yang kita inginkan peningkatan. Soalnya hari ini kesenjangan ini sangat tajam," ucapnya lagi.
Jadi menurutnya 'Revolusi Penguasaan Lahan'. Soalnya sekarang kondisinya ini semua menguntungkan Konglomerat, dan para rakyat mengalami kesulitan.
Ia juga merasa rancu dengan data yang pernah menunjukan dimana ada Perusahaan yang bisa memiliki mencapai 800 ribu Ha luas kepemilikan lahannya, dengan dalih menggunakan beberapa nama grup perusahaan-perusahaan.
"Maka perlu ada perubahan Fundamental dari segi kepemilikan. Bila perlu pemilik-pemilik modal hanya di Industri saja, sedangkan untuk produksi serahkan ke masyarakat. Ini yang kita perjuangkan kedepan," tandasnya.
Diskusi publik ini dengan nara sumber diantaranya; Anggota Komnas HAM, Viva Yoga Mauladi, Fadhil Hasan, Bartholomeus Anikus, MS Kaban, Decky Natalis Pigai, Tuhu Bangun, M.A Muhammadiyah dengan moderator Dina Nurul Fitria.(bh/mnd) |