Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Lingkungan    
COP
Tanggapan Para Aktivis Lingkungan Indonesia terkait Pidato Jokowi di COP 21 Paris
Wednesday 02 Dec 2015 12:09:40
 

Tampak suasana acara saat jumpa pers hari Selasa (1/12) di Kantor Walhi di Jl. Tegal Parang, Jakarta Selatan.(Foto: BH/mnd)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Terkait ancaman Perubahan Iklim di Bumi dan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Dunia yang dihadiri 150 kepala negara untuk melangsungkan pertemuan pada COP 21 yang berlangsung di Kota Paris, Perancis. Pada Senin (30/11), Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidato di sidang UNFCCC di Paris pada pukul 16.30 waktu Paris.

Dalam pidatonya, Presiden RI menyampaikan beberapa point, dimana Indonesia merupakan paru-paru dunia, terkait dengan masalah yang dihadapi khususnya 'kabut asap', dan komitmen pemerintah Indonesia dalam penanganan perubahan iklim.

Selain menyampaikan beberapa hal penting, dimana kondisi geografis Indonesia negara kepulauan, dengan luas wilayah lautnya dua pertiga (2/3) wilayah Indonesia yang prosentase 60% penduduk Indonesia berdomisili di wilayah pesisir, serta rentan dengan perubahan iklim, khususnya pulau-pulau kecil.

Presiden dalam pidatonya juga menyampaikan masalah kebakaran hutan dan lahan, dan upaya penanggulangannya, baik dalam upaya penegakan hukum maupun langkah-langkah prevensi yang telah disiapkan, diantaranya restorasi ekosistem gambut dengan pembentukan 'Badan Restorasi Gambut'.

Yuyun Indradi selaku Indonesia Political Forest Campaign Team Leader Greenpeace SEA Indonesia, saat jumpa pers hari Selasa (1/12) di Kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Jl. Tegal Parang, Jakarta Selatan, menyampaikan bahwa, 29% komitmen nasional pengurangan emisi gas rumah kaca masih jauh dari realita kita. Beberapa bulan terakhir saja sudah kehilangan beberapa juta ha hutan.

Terlebih lagi jika ditelisik semenjak tahun 1990, Indonesia sudah kehilangan 31 juta ha hutan dan atau seluas negara Jerman. "Nampak Pemerintah kurang ambisius mengurangi perubahan iklim dunia, serta untuk berkontribusi mengurangi gas rumah kaca. Jelas sekarang kita alami dampaknya," ujar Yuyun Endardi.

Menurutnya, Pemerintah perlu merevisi itu dan menyesuaikan dengan issue lingkungan yang gencar dikumandangkan oleh Pemerintah Jokowi. Ditambah lagi dengan membuat peta gambut, dan janji khusus membuat lahan gambut. Padahal, persoalannya beberapa bulan terakhir ini saja hutan mengalami gangguan.

"Celakanya belum ada tanda-tanda pemerintah, government sektor kehutanan itu membaik. Jika Pak Jokowi mempunyai jargon Revolusi Mental, maka Kementerian Kehutanan dan lingkungan hidup seharusnya seperti itu juga," tegas Yuyun.

Sementara, pengelolaan sumber daya alam harus lebih besar juga fokusnya (serius), dan strategis mengelola sumber daya alam (SDA) ini. Selain itu juga, sudah punya RPJMN, disana masuk poin-poin untuk mengelola SDA. "Kebijakan yang paling signifikan adalah komitmen nasional pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 26% hingga 41% hingga 2020," jelas aktivis Greenpeace Indonesia tersebut mengingatkan.

Padahal, seperti diketahui suistainable Indonesia memainkan peran cukup besar dalam perundingan UNFCCC, khususnya semenjak perhelatan COP ke-13 di Bali pada tahun 2007 yang lalu.

Selanjutnya, pantauan pewarta BeritaHUKUM.com dilokasi, Aktivis WALHI Khalisah Khalid mengungkapkan dalam konferensi pers via Skype dari Paris yang LIVE dengan waktu bersamaan secara online di hadapan awak media-pun mengatakan, "Situasi di Indonesia, Jokowi menyampaikan penanganan kabut asap, karena Indonesia memiliki komitmen menurunkan emisi dari itu. Memang faktanya dari sumber emisi Indonesia," kata Khalisah Halid.

Selanjutnya, Khalisah menyampaikan pula kalau sumber emisi Indonesia, sebagian besar dari Land Use Land Use Change and Forestry (LULUCF). Pemerintah harusnya mengukur ulang baseline emisi dari kejadian kebakaran hutan dan gambut, sehingga perlu menjadikan kebakaran hutan dan lahan dan juga tata kelola gambut sebagai salah satu hal yang paling mendasar.

Penetapan moratorium dan review izin pemanfaatan lahan gambut, jika situasi seperti saat ini tidak memiliki kekuatan signifikan. "Sehingga kita berharap ada koreksi dari Indonesia. Mengenai moratorium mengunakan lahan gambut, kita pesimis," papar Khalisah, yang juga merupakan Kepala Departem Kajian dan sumber daya WALHI.

"Kebijakan moratorium yang dikeluarkan oleh Presiden melalui Inpres No. 8/2015 sangat lemah, terlebih tanpa ada review terhadap perizinan lama dan penegakan hukum," jelasnya.

Kemudian bila dikaitkan dengan rencana pembangunan Indonesia sebagaimana yang termuat dalam RPJMN 2015-2019, yang antara lain disektor energi, pembangunan 35.000 megawatt, sebagian besar masih mengandalkan batubara, energi yang kotor yang justru akan semakin menaikkan emisi Indonesia.

Bagaimana mungkin target menurunkan emisi karbon 29% pada 2030 dapat tercapai, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara, justru meningkat 2 kali lipat dari 201 juta tCO2 pada 2015 menjadi 383 juta tCO2 pada 2024.

Khalisah beranggapan, komitmen yang disampaikan oleh Presiden meragukan, dan merasa ada gap antara RPJMN dengan INDC Indonesia yang disubmit ke UNFCCC (komitmen Indonesia menurunkan emisi global).

"Akankah ada masa transisi untuk menjembatani kotradiksi antara komitmen penurunan emisi dengan kebijakan pembangunan yang memproduksi emisi," ungkapnya, sambil bertanya-tanya.

Maka, ada empat (4) butir rekomendasi strategis yang dikemukakan oleh Koalisis Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global (HuMA, debtWATCH Indonesia, WALHI, dan Greenpeace) mendorong pemerintah untuk memperhatikan adalah:

- Pertama (1), Kebijakan Nasional Nol Deforestasi.

Menghilangnya tutupan hutan Indonesia bukan menjadi hal baru sejak dekade 80an, fenomena penghabisan hutan skala luas terus terjadi dan mengalani peningkatan drastis. Bukan hanya penghilangan hutan (sebagai kesatuan hamparan ekosistem hayati) di darat saja, namun pembangunan selama ini juga mengorbankan ekosistem hayati di lahan basah, seperti ekosistem rawa gambut.

- Kedua (2), Kebijakan Nasional Adaptasi.

Adapasi merupakan unsur yang cukup jarang diperhatikan pemerintah dalam hal penanganan perubahan iklim, bukan hanya dalam aspek kerentanan pesisir, tapi juga terkait dengan pertanian dan pemanfaatn lahan lainnya.

- Ketiga (3), Prioritas Energi Terbarukan

Memang untuk energi terbarukan sudah masuk dalam rencana pemerintah dalam RUPTL 2015-2019. Namun, jenis energi terbarukan yang direncanakan dalam dokumen tersebut masih berpotensi menimbulkan dampak terhadap perubahan iklim, geothermal, air dengan bendungan skala besar (mega dam), biofuel, coal brd methane, coal slurry, dan nuklir. Untuk itu energi terbarukan yang bersih, aman, berkelanjutan, dan berbasis masyarakat seperti energi surya atau solar panel, angin, dan tenaga mikrohidro yang perlu dibasiskan.

- Keempat (4), Pengakuan dan penghormatan masyarakat lokal dengan pengetahuan lokalnya.

Pengakuan kearifan lokal masyarakat merupakan hak yang harus terintegrasi dalam pola-pola pembangunan. Pemerintah harusnya menggunakan basis hak, dimana kearifan lokal diakui kontribusinya dan diadopsi dalam pola adaptasi maupun upaya pengurangan emisi gas rumag kaca.(bh/mnd)



 
   Berita Terkait > COP
 
  Menolak Solusi Palsu, Menuntut Keadilan Iklim
  Berbicara Dalam Forum Steering Committee Meeting C40, Gubernur Anies Usulkan 3 Agenda Untuk Forum COP26
  COP23, Menteri LHK: Perhutanan Sosial Menjadi Perhatian Dunia
  2016 Tahun Transisi Ekstrem dari Pembicaraan ke Aksi Iklim
  Rencana Indonesia untuk Hutan dan Energi Menghianati Semangat Kesepakatan Paris
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2