JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Tanda-tanda munculnya revolusi untuk menjatuhkan pemerintahan SBY-Boediono sudah semakin tampak. Kesengsaraan yang ditanggung rakyat, kian lama kian berat. Pada saat yang sama, rakyat juga makin muak dan marah melihat tingkah para elitenya.
Para elite kekuasaan mempertontonkan perlaku tercela secara telanjang, tanpa ada lagi rasa malu. Korupsi dan masalah moralitas telah membelit mereka secara kronis. Salah satu bukti rakyat sudah muak dengan rezim sekarang adalah tidak adanya seorang pun yang memuji-muji SBY dan pemerintahannya.
“Setidaknya ada dua ciri yang menunjukkan adanya tanda-tanda revolusi. Pertama, liputan media sudah cukup bagus. Kedua, tema yang diusung sudah bagus dan tegas, yaitu revolusi. Kalau Anda sekarang menjual reformasi jilid II, orang akan mencemooh. Publik maunya revolusi,” kata budayawan Ridwan Saidi dalam sebuah acara diskusi bertajuk ‘Krisis Kepercayaan kepada penguasa’ di Jakarta, Selasa (4/10), seperti rilis yang diterima BeritaHUKUM.com.
Pendapat senada juga datang dari Hardi. Menurut dia, era SBY sudah selesai. Namun, berbeda dengan Ridwan, Hardi melihat belum cukup persyaratan yang dibutuhkan bagi lahirnya revolusi. Ibu Pertiwi kini belum hamil tua.
“Ibu Pertiwi baru hamil sekitar tiga bulan. Persoalan lainnya adalah belum adanya tokoh pengganti yang akan diusung setelah SBY dijatuhkan. Pada saat yang sama, kelas menengah dan kaum intelektual telah dininabobokan dengan kesenangan. Mereka lebih sibuk bermain-main dengan iPad, Black Berry, dan lainnya dari pada memikirkan revolusi,” ujar Hardi.
Sehubungan dengan itu, Ridwan menyatakan, rakyat memang tidak melakukan revolusi. Revolusi hadir karena digerakkan para pemuda dan mahasiswa. Jadi, rakyat memang harus digerakkan. Kini, penggerak rakyat dan penggerak revolusi sudah cukup banyak.
“Soal pemimpin, nanti pasti akan muncul sendiri. Revolusi akan dipimpin oleh anak kandung revolusi itu sendiri. Bung Karno dan Hatta juga sebelumnya tidak berpikir akan menjadi pemimpin. Namun, ketokohan mereka diakui. Bahkan Sjahrir mengatakan, walau dia 100 kali menandatangani proklamasi, belum tentu rakyat akan mengikuti,” tukas budayawan yang juga tokoh Betawi ini.
Ridwan mengingatkan, revolusi harus dilakukan secara total. Tidak bisa sepotong-potong. Misalnya, sehubungan dengan skandal Bank Century, ada wacana yang digulirkan sebaiknya yang di-empeach cukup Boediono saja. Pasalnya, kesalahan dan kriminalitas Boediono tampak terang-benderang. Setelah itu angkat tokoh agama tertentu untuk duduk sebagai Wapres.
“Tidak bisa begitu. SBY dan rezimnya sudah selesai. Kita harus melakukan revolusi total, bukan sepotong-potong. Revolusi itu maknanya rata dengan tanah. SBY, Boediono, dan semua elit di eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah bagian dari masalah. Karenanya, revolusi harus menyingkirkan mereka semua rata dengan tanah,” tukas Ridwan.
Peran Seniman
Sementara itu, Adhie mengatakan, dalam tiap revolusi seniman selalu mengambil peran penting. Dulu, pada saat revolusi kemerdekaan, sejumlah seniman turun sebagai pejuang. Mereka antara lain Ismail Marzuki, Chairil Anwar, dan lainnya. Begitu juga pada 1998 saat menggulingkan Soeharto.
Menurut dia, biasanya seniman memang tidak buru-buru turun untuk terlibat dalam revolusi. Mereka relatif masih diam saat terjadi penyimpangan di bidang ekonomi dan atau politik. Namun begitu penyimpangan juga merambah pada budaya dan peradaban, maka para seniman akan ikut menggerakkan revolusi.
“Seharusnya istana dan pusat-pusat kekuasaan menjadi sumber tata nilai yang berbudaya dan bermartabat. Namun, kini praktiknya istana dan pusat-pusat kekuasaan telah berubah menjadi sumber-sumber tak bermoral dan perampokan. Dulu, kita diajari kalau bicara tidak sesuai fakta disebut bohong. Namun oleh SBY bicara tak sesuai fakta diubah menjadi pencitraan. Jadi, kalau seniman ikut turun dalam revolusi, itu bukan semata-mata urusan politik. Seniman dan revolusi dimaksudkan untuk menyelamatkan peradaban,” ungkap Adhie. (rls/nas)
|