JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Sikap ekslusivitas dan ketertutupan Mahmakah Agung (MA) memunculkan tudingan miring masyarakat terhadap lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu. Hal ini terutama dalam pemeriksaan perkara yang ditangani para hakim agung. Mestinya pemeriksaan perkara itu harus dilakukan secara transparan, agar masyarakat kecil pencari keadilan tidak banyak dirugikan atas sikap MA yang tidak terbuka itu.
Atas dasar ini, sudah saatnya dibutuhkab kriteria calon hakim agung ideal yang memiliki sosok berani dan tegas untuk membongkar budaya ketertutupan MA. Budaya tidak tranparan disinyalir sangat rentan dengan transaksi perkara dan antiperubahan. “MA itu misterius. Masyarakat tidak dapat mengakses. MA benar-benar tertutup dan serba rahasia,” kata anggota Komisi III DPR Nudirman Munir di gedung DPR, Jakarta, Kamis (29/9).
Nuansa misterius dan tertutup yang menyelubungi MA itu, imbuh anggota FPG DPR ini, ternyata masih terus dipelihara hingga kini. Padahal, dalam era reformasi ini, semuanya harus dibeberkan secara terbuka, agar masyarakat mengetahui proses pemeriksaan perkara yang diajukan kepada MA. “Saya selalu mencecar calon hakim agung, agar bisa mendobrak budaya MA yang tertutup. Persidangan MA harus dilakukan secara terbuka, setidaknya masyarakat bisa melihat sidang melalui teve, seperti di Pengadilan Tipikor,” ujarnya.
Keterbukaan MA sangat penting, mengingat kuatnya aroma jual-beli perkara. Masyarakat tak pernah tahu apakah betul sidangnya murni tanpa kongkalingkong. Pencari keadilan juga tak pernah tahu bagaimana majelis hakim agung MA dalam memutus perkara, membaca berkas yang begitu tebalnya. “Masyarakat sulit masuk gedung MA. Beda dengan orang berduit yang sangat mungkin berdiskusi perkara dengan hakim agung,” tandasnya.
Nurdirman mengakui telah mengantongi enam nama calon hakim agung yang akan diusulkan dalam rapat Fraksi Golkar untuk diputus sebagai hakim agung. Nama tersebut dipilih berdasarkan latar belakang keahlian hukum dan disesuaikan dengan kebutuhan dalam bidang permasalahan hukum. Nama-nama tersebut adalah Harry Djatmiko, Taqwaddin, Iing Sodikin, Syafrinaldi, Andi Samsun Nganro, dan Gayus Lumbuun.
Menurut mantan pengacara keluarga Cendana itu, Indonesia membutuhkan hakim yang berlatar belakang pengetahuan hukum tentang Hak Kekayaan Intelektual (HAKi), seperti Syafrinaldi. Hakim berlatar belakang hukum agraria, yakni Iing Sodikin. Taqwaddin dan Andi Samsan Nganroe mementingkan pengembalian kerugian negara dari koruptor. Sedankan Gayus Lumbuun sebagai figur yang fair. “Gayus mudah emosi, tapi cepat pula meminta maaf,” jelasnya.(mic/rob)
|