JAKARTA, Berita HUKUM - Salah satu pengguna aplikasi WhatsApp, Mujib Rahman mengatakan, soal kebijakan perusahaan aplikasi WhatsApp yang menerapkan pembatasan jumlah berbagi pesan 'diteruskan' (forward) di aplikasi WhatsApp, tidak subtansial dan tidak menyasar pada persoalan yang sesungguhnya, seperti pencegahan penyebaran konten berita bohong (hoax).
Menurut Mujib Rahman, pembatasan jumlah massage (pesan) itu tidak terkait penyebaran berita bohong. Karena berita bohong itu bisa disebar melalui person to person (orang ke orang), tidak harus secara massal.
"Lebih bagus WhatsApp kalau mau membuat pembatasan yang kaitannya dengan hoax, dia memberikan informasi informasi yang itu berisi tentang hoax, hoax yang tersebar (viral) yang beredar melalui pesan dia, lalu dia informasikan kepada penggunanya. Itu lebih bagus dan lebih menyasar. Tapi kalau pembatasan jumlah forward itu tidak ada kaitannya," urai Mujib, yang juga berprofesi sebagai konsultan komunikasi kepada wartawan usai menjadi narasumber dalam diskusi media bertema "Peran Media Mengawal Demokrasi Tanpa Hoax dan SARA untuk Pemilu 2019 yang Damai, Berkualitas dan Bermartabat", di kawasan Cikini, Menteng Jakarta, Selasa (22/1).
Selain itu, mantan redaktur Majalah Gatra ini mengungkapkan bahwa beredar konten berita-berita bohong (hoax) tidak bisa hanya dicegah dengan pembatasan jumlah pesan. Mujib berharap perusahaan aplikasi WhatsApp bisa turut menyampaikan dan memberikan informasi tentang berita-berita bohong (hoax) yang viral di platformnya yang meresahkan masyarakat. Sehingga masyarakat, khususnya pengguna WhatsApp dapat menyikapi konten hoax itu secara bijak.
"Saya tadi malam masih bisa melakukan forward ke beberapa teman. Tapi kalau dia (WhatsApp) menerapkan, menurut saya itu tidak subtansial. Dia membuat kebijakan yang tidak mengarah pada persoalan sesungguhnya yang dialami masyarakat, pengguna WhatsApp. Pengguna WhatsApp itu adalah terlalu mudah menerima dan menyebar berita bohong. Sebenarnya berita-berita bohong itu telah terungkap atau telah bisa diungkap oleh berbagai perangkat hoax analizer," ungkapnya.
"Nah kalau dia (WhatsApp) menyebarkan informasi tentang hoax yang terungkap melalui platform dia, nah itu nilai tambah. Tetapi kalau hanya membatasi jumlah pesan atau broadcast itu, menurut saya tidak menyasar pada pokok permasalahan. Tidak signifikan," tandasnya.
"Jadi kalau seandainya saya mau menyebarkan berita bohong, saya bisa melakukan person to person. Tidak ada kendala menurut saya," tambah Mujib.
Sementara itu Hafyz Marshal, pimpinan Redaksi Media Online Kata Indonesia mengajak seluruh komponen masyarakat agar dapat menyikapi secara bijak perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin tumbuh subur.
"Sekarang semua orang bisa memproduksi konten, sampai-sampai di aplikasi-aplikasi HP (handphone) kita bisa membuat meme-meme (gambar dan kata-kata mengandung canda) yang bisa saja memotivasi atau menyinggung orang," tutur Hafiz.
"Jadi balik lagi dari kita, mengajak orang-orang yang belum paham tentang bagaimana industri komunikasi sekarang. Dari WhatsApp, Facebook dan media sosial lainnya, hendaknya kita untuk lebih bijak menyikapi konten-konten yang mengandung kebohongan," lugas Hafiz.
Sebagai informasi, pembatasan jumlah pesan 'diteruskan' (forward) ke maksimal lima kontak di aplikasi WhatsApp tidak hanya berlaku di India, Indonesia, atau beberapa negara saja. Pembatasan fitur tersebut kini juga berlaku dalam skala global.
"Mulai hari ini, semua pengguna versi WhatsApp paling baru hanya bisa meneruskan pesan ke lima ruang obrolan dalam satu kali pengiriman, hal itu akan membuat WhatsApp tetap fokus pada pesan pribadi dengan kontak terdekat," jelas seorang perwakilan WhatsApp seperti yang dilansir berbagai media online.
Pembatasan jumlah berbagi pesan 'diteruskan' (forward) mulai berlaku efektif pada tanggal 21 Januari 2019 waktu Los Angeles atau tanggal 22 Januari 2019 Pukul 12.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB).
Adanya fitur baru WhatsApp tersebut dimaksudkan bisa meminimalisir penyebaran konten hoax.(bh/amp) |