JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Rapat koordinasi Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra), Kementrian Koordinator Politik Hukum (Kemenhukam) dan Keamanan bersama Kementrian Energi Sumber Daya Alam (ESDM) dilakukan guna menertibkan tata kelola tambang di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Demikian pernyataan Wakil Menteri ESDM, Prof. Widjajono, menanggapi buruknya tata kelola pertambangan di NTT dalam audiensi dengan Forum Pemuda NTT Penggerak Keadilan dan Perdamain (Formadda NTT) di Kementeriaan ESDM, Rabu, (14/3).
Dalam audiensi tersebut, Wamen ESDM didampingi oleh Dr. M. Lobo Balia (Staf Ahli Menteri Bidang Tataruang dan Lingkungan Hidup, Edy Prasodjo (Direktur Pembinaan dan Pengusahaan batubara, Ditjen Minerba).
Sedangkan dari Formadda NTT hadir Yohanes Kristo Tara (Ketua Umum), Marsel Siga, Ignas Laya, Bruno Wanggol, Erwin, Peter Dabu, Anton Arif, Jibrail Opa Koilom (Pemangku adat dan pemilik lahan Panea, Allor yang ditambang oleh PT Inti Perkasa Tambang)
Tambang Produk Politik
Menurut data yang dihimpun Formadda, Pemerintah Daerah (Pemda) telah mengeluarkan 413 Izin Usaha Pertama (IUP) yang tersebar di semua Kabupetan NTT. Formadda menilai dikeluarkannya IUP bukan untuk pembangunan ekonomi melainkan produk politik seputar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Karena itu, investasi pertambangan di NTT sama sekali tidak ada hubungan dengan cerita peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat namun guna ongkos politik yang sarat KKN.
Formadda NTT memaparkan bahwa daya dukung lingkungan NTT amat terbatas akan luas daratan, ketersediaan hutan, maupun sumber air. Sementara mayoritas masyarakat NTT adalah petani dan peternak yang amat membutuhkan lahan dan air sebagai ruang dan sumber hidup. Sedangkan pertambangan adalah industri yang rakus lahan dan air.
Kalau investasi pertambangan tetap dipaksakan, maka hampir seluruh masyarakat NTT akan kehilangan lahan dan air, dan itu berarti kematian. Mengacu pada kebijakan nasional, pertambangan di NTT bertentangan dengan kebijakan nasional dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3E) yang menetapkan Koridor Bali-Nusa Tenggara (Bali, NTB, NTT) sebagai Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional.
Hadirnya 413 IUP di NTT jelas akan mengganggu, menghambat bahkan menghancurkan potensi dan sumber ekonomi guna peningkatan pariwisata, perikanan dan peternakan sebagaimana misi MP3E.
Di banyak tempat, lahan untuk pertanian dan peternakan telah dikonversi secara besar-besaran menjadi lahan tambang. Di tempat lain, lokasi pertambangan di garis pantai bakal menghancurkan laut serta kawasan pariwisata bahari. Bahkan industri pertambangan ini telah memakan 46 korban jiwa tertimbun tambang mangan, meresahkan masyarakat dan menyulut gelombang aksi protes yang bermuara pada konflik horisontal maupun vertikal hingga kriminalisasi masyarakat lingkar tambang.
“Kalau tidak ditangani secara bijak, bukan tidak mungkin peristiwa Sape-Bima akan terulang di NTT," ungkap Yohanes Kristo Tara.(bhc/boy)
|