JAKARTA, Berita HUKUM - Direktur Utama Taksi Gamya Mintarsih A. Latief mengatakan. "Sering dan banyak banget hakim mengetukan palu karena ribut terus, tidak terhitung. Kuasa hukum Blue Bird, Hotma kerap memotong sehingga mengintervensi saksi. Pihak pengacara saya sempat marah. Terjadi debat besar, sampai hakimnya juga ketok-ketok palu terus," ujar Mintarsih di Jakarta, Kamis (3/4).
Menurutnya, akibat kerap dipotong, konsentrasi saksi menjadi hilang, sehingga beberapa kali terjadi perdebatan. Selain itu, Hotma juga kerap menyampaikan pertanyaan yang tidak mungkin diketahui saksi atau tidak relevan, terlebih saksi-saksi yang dihadirkan sebagai saksi fakta itu semuanya sudah keluar dari perusahaan taksi berlambang burung biru tersebut.
Seperti diketahui sebelumnya, sidang lanjutan kasus gugatan PT Blue Bird terhadap mantan Direktur PT Blue Bird Taxi, Mintarsih A Latief senilai Rp 980 milyar atas dugaan tidak menjalankan tugasnya selama bekerja di perusahaan, kembali digelar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (2/4). Sidang yang beragendakan pemeriksaan saksi dari pihak tergugat yang menghadirkan Beni Mukolu, Sugianto, Hefni, Miftachul Hadi, Nurgata, dan Denis Salasiwa ini berkali-kali diwarnai ketukan palu majelis hakim yang dipimpin Aminal Uman karena beberapa kali terjadi ketegangan.
"Saksi sudah keluar dari tahun 1998, tapi ditanya soal 2005 sampai 2014, posisi saham, akte perusahaan. Bagaimana mungkin tahu. Yang tahu paling direksi dan bagian administrasi. Kan kalau tidak relevan dengan kesaksian, bagaimana kita bisa memberitahukan. Sudah bagus orang itu menjawab tidak tahu daripada ia ngawur," ungkapnya. Mintarsih mengatakan, saksi-saksi yang diajukannya sebagai saksi fakta merupakan mantan karyawan Blue Bird, sedangkan saksi fakta Purnomo yang merupakan pihak penggugat, masih bekerja sebagai karyawan di perusahaan itu. "Padahal saksi fakta itu tidak boleh ada hubungan keluarga dan pekerjaan," tandasnya.
Mintarsih menuturkan, dirinya digugat oleh perusahaan tersebut atas dugaan menelantarkan perusahaan sejak tahun 1993, sehingga dengan gugatan itu ia dinilai tidak bekerja dan dianggap memakan gaji buta. "Gugatannya hampir Rp 1 milyar kurang Rp 20 juta atau Rp 980 milyar," ujarnya. Gugatan itu dilayangkan sebagai buntut kisruh pemilikan saham di perusahaan taxi biru ini. Mintarsih mengaku, dirinya mempunyai saham sebesar 15%, namun tanpa diajak berunding, sahamnya tersebut tiba-tiba sudah dialihkan ke Purnomo, sehingga tersisa hanya 6% yang merupakan saham warisan.
"Saya tidak pernah jual, saya diminta mundur, tapi kenapa saham saya hilang? Saya tidak ikut tanda tangan dan katanya sudah dibayar dengan harga murah lagi Rp 735 juta dengan gedung dan tanah yang megah. Itu pun tidak dibayar dan tidak ada bukti pembayaran," tandasnya. Mintarsih menegaskan, selama menjabat sebagai direktur, ia menjalankan tugasnya dan membuat sejumlah program, mendidik programer, dan mengaplikasikan program komputer hingga gudang dan bengkel.
Setelah tahun 1993, sudah terjadi class, selain itu harga komputer sudah murah, sehingga Mintarsih mengerjakan sejumlah software kadang tidak di kantor Blue Bird. "Pembuatan program tidak harus selalu dikerjakan di tempat. Setelah konflik besar, saya lepas pada tahun 2005," terang Mintarsih.(bhc/mks) |