JAKARTA, Berita HUKUM - Pembangunan yang dilakukan pemerintah di segala bidang patut didukung berbagai pihak. Tapi dibalik pembangunan yang ditujukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia, masih ditumpangi kepentingan oknum instansi terkait yang berakibat merugikan kepada rakyat atau masyarakat.
Seperti pembebasan lahan pada pembangunan jalan Tol Depok-Antasari (Desari), terjadi “perampasan” tanah rakyat yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang mengatasnamakan pemerintah.
Hal inilah yang terjadi pada Haji Djuanda, salah seorang warga Pondok Labu, Jakarta Selatan. Pasalnya, tanah miliknya seluas 1.000 meter yang terletak di wilayah RT:09, RW: 09 Kelurahan Pondok Labu, Kecamatan Cilandak tanpa sepengetahuannya dipasangi tiang pancang pembangunan jalan Tol Depok-Antasari (Desari).
Jelas saja tindakan semena-mena pihak kontraktor proyek jalan Tol Depok-Antasari ini tidak diterima H. Djuanda. Karena sampai hari ini belum ada sama sekali ganti rugi dari pihak pemerintah ataupun pihak yang ditunjuk untuk melakukan pembebasan lahan yang dimaksud kepada Haji Djuanda.
“Ini sudah gila, Pemerintah tidak lagi melihat proses perpindahan hak lahan ini secara detail,” kata Anang Budhisaksono, Penerima kuasa penuh dari Ahli Waris H.Samin bin Boim untuk menyelesaikan persoalan tanahnya tersebut.
Ditegaskan Anang Budhisaksono, pemerintah jika bekerja profesional ya harus teliti. “ Panggil semua yang berkompeten. Pemilik lahan, ahli waris yang menjual tanah kepada Pak Djuanda. Jangan main tancap pancang! Ada historynya dalam tanah tersebut, dan jelas-jelas ditemukan ada pelanggaran hukum pidana. Tapi kenapa P2T Jakarta Selatan diam!” seru Anang.
Meski demikian Anang menegaskan bahwa pihaknya tidak mau melakukan tindakan semena-mena seperti yang dilakukan pihak kontraktor proyek. “Kita akan selesaikan soal penyerobotan tahan ini sesuai peraturan. Termasuk kami juga sudah melakukan pelaporan ke Polda Metro Jaya terkait pemalsuan dokumen, dan ke Mabes Polri. Namun yang menjadi tanda tanya kami, kenapa kepolisian tidak ambil sikap?
Seharusnya dibuat dong status quo. Bahkan anehnya lagi, ada personel polisi yang diturunkan untuk pengamanan lahan tersebut. Apa yang diamankan? Perintah siapa puluhan polisi berjaga itu? Saya berharap, Pak Tito (Kapolda Metro Jaya,red) turun tangan dalam persoalan ini. Bila perlu Pak Badrodin (Kapolri,red). Tarik anggota polri ada di lokasi, karena mereka tidak berbuat apa-apa, “ tegas Anang.
Diceritakan Anang Budhisaksono, asal muasal tanah ini milik H.Djuanda berawal dari H.Samin bin Boim yang menjual kepada H.Djuanda pada 4 April 1997. Dan dalam pernyataan secara tertulis disebutkan bahwa tanah tersebut bebas dari sengketa. Tanah yang tercatat dalam Persil Nomor : 60, Girik C.Nomor : 1404, Blok S.II dinyatakan oleh Kelurahan Pondok Labu tidak dalam sengketa.
Tidak lama proses transaksi jual beli tanah tersebut, Surat berharga Girik C Nomor : 1404, Persil No: 60 Blok S.II atas nama H.Samin bin Boim tersebut hilang, sehingga pada 6 Mei 1997 H. Djuanda membuat laporan kehilangan di Polres Jakarta Selatan dengan Nomor Laporan : 1574/B/V/1997/Res-Jaksel yang menerima laporan pada saat itu Letda Pol.Taufid. Hingga saat ini H.Djuanda pun belum bisa membuat sertifikat atas tanah tersebut.
Namun, pada saat gencarnya proyek pembangunan jalan tol Desari terjadilah keanehan dari tanah milik H.Djuanda tersebut. Muncul akta jual beli atas tanah tersebut, yang didalamnya tertera H.Samin bin Boim menjual tanah kepada H.Tohir pada 10 Mei 1994 yang diterbitkan oleh Notaris PPAT Mohamad Said Tadjoedin dengan nomor :3/V/PD/CL.1994.
Namun berdasarkan penelusuran Tim Investigasi diketahui bahwa notaris PPAT Mohamad Said Tadjoedin yang menerbitkan akta jual beli H.Samin bin Boim dan H.M.Tohir tersebut bodong. Hal ini disampaikan oleh Mohamad Rifat Tadjoedin, SH Notaris PPAT yang beralamat di Jalan Kerajinan Nomor : 19, Jakarta Barat selaku pemegang protokol dari Mohamad Said Tadjoedin, Notaris PPA. Dalam keterangannya secara tertulis, Mohamad Rifat Tadjoedin,SH mengatakan bahwa, akta jual beli tertanggal 10 Mei 1994 Nomor : 3/V/PD/CL/1994 yang dibuat dihadapan Mohamad Said Tadjoedin Tidak terdaftar atau tidak tercatat alias bodong di kantor Mohamad Rifai Tadjoedin. Pernyataan ini disampaikan melalui surat tertanggal 24 Februari 2015 lalu.
Melihat adanya ketidak beresan atas tanah miliknya, setelah mendapatkan keterangan dari pihak PPAT tersebut, maka H.Djuanda melakukan peloparan ke Bareskrim Mabes Polri atas tindakan H.Tohir dengan Nomor Laporan : TBL/248/III/2015/BARESKRIM, dalam laporan tersebut diduga H.Tohir telah melakukan dugaan tindak pidana pemalsuan surat dan menempatkan keterangan palsu didalam akta otentik dan menggunakan surat palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 KUHP jo Pasal 264 KUHP jo Pasal 266 KUHP jo Pasal 385 KUHP.
“Kami sudah melakukan upaya penegakkan hukum, melalui pelaporan-pelaporan secara resmi ke kepolisian. Namun, hingga saat ini tidak ada tindakan ataupun tanggapan atas apa yang dilakukan oleh H.Tohir CS. Justru yang ada tanah milik H.Djuanda saat ini sudah ditancap pancang tol. Jangankan ganti rugi, pembicaraan dari Tim P2T pun tidak ada. Justeru orang-orang yang tidak bertanggungjawab seperti Aman dan Amin memanfaatkan situasi ini untuk mengeruk uang. Kami tidak tahu berapa uang yang sudah mereka terima dari oknum-oknum perampas hak rakyat ini. Dan ini tidak bisa didiamkan. Harus segera diambil sikap tegas, agar tidak ada lagi korban-korban lain yang bergelimpangan di muka Bumi Pertiwi ini, “ harap Anang dengan nada lantang.
Hingga berita ini diturunkan, baik Pemerintah Kota Jakarta Selatan, Polisi Daerah (Polda) Metro Jaya sepertinya kurang pro aktif menyikapi laporan pengaduan masyarakat ini. Hal ini terlihat dari tidak adanya upaya yang dilakukan guna memberikan kejelasan atas nasib tanah milik H.Djuanda tersebut. Apakah akan mendapat ganti rugi, atau memang sudah mendapatkan ganti rugi dari Negara? Jika sudah direalisasikan ganti rugi, lalu kemana uang ganti rugi tersebut? Macet dijalanan seperti kemacetan yang terjadi di Jakarta? Inilah yang harus dicari jawabannya . Dan apapun alasannya, semua yang terkait dengan pembebasan lahan ini harus diusut secara tuntas.(bh/yun) |