JAKARTA, Berita HUKUM - Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menilai sebaiknya kebijakan bebas visa untuk China ditinjau ulang.
Sebab, selain tak efektif meningkatkan jumlah wisatawan, kebijakan tersebut tidak resiprokal atau berlaku timbal balik untuk WNI yang berkunjung ke China.
Menurut Arsul, biasanya pemberlakuan kebijakan bebas visa dilakukan secara resiprokal di dua negara terkait.
"Kita kalau ke China cuma bebas visa selama tiga hari. Tapi kalau mereka ke Indonesia jauh lebih lama dari itu. Ini kan tidak resiprokal" kata anggota Komisi III DPR ini saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (28/12).
"China sudah memberlakukan kebijakan bebas visa yang resiprokal dengan negara lain namun dengan Indonesia tidak" lanjut dia.
Dengan demikian, Arsul menilai kebijakan bebas visa untuk China belum menguntungkan bagi Indonesia.
Apalagi, kata dia, kebijakan bebas visa juga rawan disalahgunakan dan memunculkan TKA ilegal.
Lebih baik ditinjau ulang dulu lah, apakah dicabut atau dimoratorium itu tergantung proses peninjauan ulangnya, yang penting ditinjau ulang dulu, papar politisi Partai Persatuan Pembangunan tersebut.
Sementara, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani juga menyarankan Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi dan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) memperlihatkan data secara bersamaan kepada publik terkait polemik tenaga kerja asing ilegal.
Ia menilai, dua institusi tersebut memiliki data untuk menjawab polemik tersebut.
"Enggak perlu sampai Presiden lah yang turun tangan dalam masalah ini. Cukup Ditjen Imigrasi dan Kemenaker saja. Bersamaan, jangan sendiri. Biar semuanya jelas," kata Arsul saat ditemui, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (28/12).
Menurut Arsul, Ditjen Imigrasi tentu memegang data warga negara asing (WNA) yang masuk dan keluar dari Indonesia.
Mereka, kata Arsul juga menyimpan data pelanggaran keimigrasian yang dilakukan WNA di Indonesia.
Nantinya, data jumlah tenaga kerja asing (TKA) yang legal bisa dibandingkan dengan jumlah WNA yang melakukan pelanggaran karena bekerja tanpa izin di Indonesia.
"Kalau sudah begitu kan masyarakat jadi tahu data riilnya berapa TKA ilegalnya, jadi tidak menimbulkan ketakutan psikologis seolah-olah kita memang diserbu jutaan TKA ilegal dari Tiongkok," kata Arsul.(ppp/kompas/TN/bh/sya) |