JAKARTA, Berita HUKUM - Aksi 21-22 Mei lalu oleh puluhan ribu massa berdemo di depan gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia di Jakarta untuk menyuarakan penolakan kecurangan Pemilu 2019 masih menyisahkan banyak masalah.
Untuk itu, sejumlah advokat dan aktivis membentuk Tim Pembela Kedaulatan Rakyat (TPKR) untuk menyelesaikan banyaknya masalah dalam aksi tersebut.
Salah satu inisiator dan juga Ketua TPKR Ahmad Yani mengatakan latarbelakang pembentukan tim itu karena prihatin atas sikap aparat keamanan terhadap para pengunjuk rasa yang terlalu represif. Padahal, kata Ahmad Yani, demo atau aksi diperbolehkan sesuai UUD 1945.
"Inti gagasan sebagaimana aksi-aksi damai, aksi damai ini juga diakui oleh aparat kemudian ada eskes itu ada kerusuhan persepektif dari aparat keamanan pemerintah. Tapi persepektif dari kawan-kawan unjuk rasa karena disikapi represif dari aparat sehingga terjadinya insiden," kata Ahmada Yani saat mendeklarasikan TPKR di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (1/5).
Tak hanya itu, setelah aksi tersebut pihak Kepolisian juga banyak memanggil tokoh-tokoh dengan tuduhan makar. Bahkan, katanya, ada 100 orang yang berkembang dalam dugaan terlibat makar.
"Untuk itu penting sekali untuk membela kawan-kawan kita maka dibentuk TPKR. Sudah 50 advokat untuk gabung dan nanti akan berkembang, ini gerakan prodio kita tidak mencari uang bukti kita mengabdi," tegasnya.
Yani menjelaskan, TPKR juga akan membentuk empat divisi untuk menangani persoalan aksi. Adapun empat divisi tersebut adalah divisi Mediasi dan Negosiasi, Divisi investigasi, Divisi Advokasi dan Divisi Pendampingan.
"Selain itu, banyak laporan orang-orang yang belum pulang, kita ga tau ini statusnya bagaimana. Kita jug akan membuka posko pengaduan bagi keluarga yang merasa anggota keluarga belum pulang," jelasnya.(teropongsenayan/bh/sya) |