Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
    
Amerika Serikat
Seandainya George Floyd Orang Indonesia
2020-06-04 22:02:41
 

Ilustrasi. Tampak 4 Tersangka ditangkap atas pembunuhan #GeorgeFloyd dengan tuntutan penjara hingga 40 tahun.Foto: Istimewa)
 
Oleh: H. Tony Rosyid


DUNIA TAHU, George Floyd orang Amerika. Warga kulit hitam yang terbunuh oleh seorang polisi. Dunia geger. Demo terjadi tidak saja di Amerika, tapi juga di sejumlah negara Eropa.

Satu nyawa melayang telah hebohkan dunia. Tidak saja demo, penjarahan dan kerusuhan bahkan marak di sejumlah negara bagian Amerika. Rakyat Amerika marah. Masyarakat dunia juga marah. Mereka marah untuk membela Floyd. Dunia marah untuk melawan kedzaliman dan kesewenang-wenangan. Mereka turun ke jalan untuk menuntut keadilan.

Melihat fenomena Floyd ini, saya teringat Indonesia. Sebuah negara subur yang rakyatnya gak pernah makmur. Di negara pancasila ini harga nyawa tak semahal di Amerika. Banyak pembunuhan yang tak terungkap. Banyak kematian misterius yang berlalu begitu saja.

Penculikan dari satu rezim ke rezim yang lain lewat begitu saja. 894 petugas KPPS meninggal. Seorang dokter coba mengusut, justru dapat teror. Bahkan dianggap menebar berita bohong dan terancam diperkarakan. Mahasiswa dan demonstran mati, tak mudah untuk sekedar mengucapkan bela sungkawa, apalagi mau membela.

Baru-baru ini, dua orang petani di Poso ditembak mati saat bakerja di kebun. Sebelumnya, ada dua orang yang juga ditembak mati di daerah yang sama. Belum juga terusut, menyusul dua lagi mati ditembak.

Gak jelas, itu peluru resmi, atau selundupan. Baru terungkap jika para pelaku tertangkap. Soal tangkap menangkap, dinamikanya terkadang rumit. Bergantung siapa pelakunya. Dan bergantung juga siapa yang mau menangkap. Tak jarang terjadi adu kuat. Harun Masiku adalah contoh yang belum hilang dari memori rakyat. Rumit! Coba kalau anda yang main suap, pasti ketangkap!

Di negeri ini, tak semua pembunuhan terungkap. Apalagi cuma teror seperti yang dialami Prof. Dr. Ni'matul Huda, guru besar hukum tata negara UII Jogja. Hal yang sama dialami empat orang dari kampus UGM yang berencana mengadakan seminar bertajuk "Persoalan Pemberhentian Presiden Di Era Pandemi Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan". Dari cerita media, teror ini kelihatan sangat terstruktur. Banyak yang menduga, ini dilakukan oleh kelompok profesional. Siapa mereka? Kita tunggu kabar dari aparat kepolisian.

Kembali pada soal George Floyd. Dia beruntung, karena dia warga Amerika. Setidaknya, banyak yang belain. Seandainya Floyd warga negara Indonesia, pasti lain ceritanya. Tak akan banyak yang peduli, apalagi turun ke jalan untuk membela. Bukan karena rakyat Indonesia gak peka dan tak punya rasa. Lebih karena rakyat takut. Banyak sekali peristiwa akhir-akhir ini yang membuat rakyat semakin takut. Paling cuma berani "ngedumel" di medsos. Itupun sambil was was.

Seringkali terjadi para pembongkar kejahatan justru dilaporkan. Nasib! Memilih aman, banyak orang akhirnya diam. Jauhi risiko. Sambil ngelus dodo dan berbisik. Oh negeriku... Oh..bangsaku... Akibatnya, kedzaliman pun bebas beroperasi. Apalagi kalau parlemen juga diam, atau malah ikut ambil bagian. Sempurna! Meminjam istilahnya Prof Din Syamsudin, disinilah kemungkaran terstruktur terjadi.

Nasib Floyd beda dengan nasib para mahasiswa, demonstran dan petani di Indonesia. Kematian Floyd telah ditulis oleh sejarah bangsanya. Bahkan ditulis oleh sejarah dunia. Tak menutup kemungkinan menjadi trigger bagi perubahan sejarah dan peradaban negara besar Paman Syam itu. Tak mustahil Donald Trump, presiden Amerika pun bisa jatuh karena satu nyawa seorang kulit hitam bernama George Floyd.

Melalui tulisan ini saya hanya ingin mengatakan bahwa demokrasi itu tegak jika satu suara rakyat dihargai. Apalagi satu nyawa. Satu nyawa di negara demokrasi sama harganya dengan nyawa seluruh anak bangsa. Bangsa yang tak menghargai nyawa adalah bangsa yang sulit untuk membangun peradabannya. Jika ada suatu bangsa mengaku penganut demokrasi, tapi tak menghargai nyawa manusia, maka bangsa itu adalah bangsa pendusta. Dan demokrasinya adalah demokrasi dusta.

Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.(tr/bh/sya)




 
   Berita Terkait > Amerika Serikat
 
  DPR AS Lakukan Pemungutan Suara untuk Makzulkan Biden
  Amerika Serikat Lacak 'Balon Pengintai' yang Diduga Milik China - Terbang di Mana Saja Balon Itu?
  Joe Biden akan Mengundang Para Pemimpin Indo-Pasifik ke Gedung Putih
  AS Uji Rudal Hipersonik Mach 5, Lima Kali Kecepatan Suara
  Sensus 2020: Masa Depan Populasi AS Bercorak Hispanik
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2