JAKARTA, Berita HUKUM - Sejumlah aktivis dari Masyarakat Peduli Hukum (MPH) mendatangi Gedung Komisi Yudisial (KY) di Jalan Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat. Para aktivis MPH ini bermaksud menanyakan laporan mereka soal hakim Soeprapto yang belum juga diproses oleh KY, padahal sudah lewat 93 hari laporan mengenai kesewenang-wenangan yang menimpa Mintarsih A. Latief sudah disampaikan.
Ketua Dewa Made Pramicko mengatakan, fenomena tentang Hakim “nakal” dalam pemalsuan dan permainan putusan perkara, dimana hakim yang seharusnya menjadi benteng terakhir tegaknya keadilan justru memperalat hukum sebagai kendaraan untuk mendzolimi.
"Maraknya hakim “nakal” di Indonesia tidak begitu mengherankan. Sebab, profesi hakim merupakan suatu jabatan yang paling leluasa dalam menggunakan hukum dibandingkan dengan penegak hukum lain," ujar Dewa, kepada wartawan di Gedung KY, Rabu (25/3).
Diungkapkan Dewa, tertangkapnya sejumlah hakim “nakal” atas perkara korupsi dan tindakan menerima suap merupakan pelanggaran kode etik yang tidak hanya merendahkan martabat penegakan hukum di Indonesia, melainkan juga telah mencoreng nama baik negara Indonesia yang memproklamirkan diri kepada dunia sebagai negara hukum.
"Tidak sedikit contoh putusan-putusan hakim di Indonesia yang dianggap telah mencederai rasa keadilan rakyat, salah satu diantaranya adalah putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Dr. H. Soeprapto, SH., M.Hum, yang memvonis mantan direktur PT. Blue Bird Taxi, Mintarsih A Latief, melakukan tindak perbuatan melawan hukum," bebernya.
Menurutnya lagi, kebobrokan hakim Soeprapto menghukum Mintarsih A. Latief untuk mengembalikan gaji dan THR selama puluhan tahun ia bekerja di PT Blue Bird Taxi yakni sebesar Rp40 miliar. Ironisnya, putusan hakim Soeprapto yang tanpa di ikuti bukti otentik tersebut juga mewajibkan Mintarsih A. Latief membayar kerugian immaterial kepada pihak penggugat Purnomo Prawiro sebanyak Rp100 miliar.
"Sehingga total yang harus dibayar Mintarsih A. Latief kepada Purnomo Prawiro sebesar Rp140 miliar.
Sebagaimana diketahui pada persidangan yang dilaksanakan pada tanggal 17/6/2014 lalu, Ketua Majelis Hakim Soeprapto melalaikan otentifikasi bukti, serta menggunakan pasal 310 dan 311 KUHP. Padahal pasal yang digunakan Hakim Soeprapto untuk menjerat Mintarsih A. Latief telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi," papar Dewa.
PUTUSAN PESANAN
Ditegaskannya, keputusan Majelis Hakim jelas telah mencederai rasa keadilan rakyat. "Oleh karena itu kami Masyarakat Perduli Hukum meminta kepada Komisi Yudisial dan penegak hukum lain di indonesia untuk memperhatikan lima kejahatan Soeprapto dalam menangani kasus yang memenangkan bos PT. Blue Bird Taxi. Pertama, Ketua Majelis Hakim yang menangani kasus sengketa PT Blue Bird Taxi pada 17/6/2014 memutuskan Mintarsih A. Latief bersalah tanpa disertai alat bukti yang valid. Kuat dugaan bahwa putusan hakim Soeprapto adalah putusan “pesanan” pihak penggugat."
"Kedua, putusan hakim Soeprapto tidak berdasarkan pada Undang-undang yang berlaku yakni pasal 310 dan 311 KUHP (telah dihapus MK). Terkait dengan hal ini dan beberapa pertimbangan yang lain, kami menilai Ketua Majelis hakim Soeprapto diduga kuat telah menerima sesuatu dari pihak bos PT Blue Bird Taxi, Purnomo Prawiro."
Ketiga, kami menduga pengadilan dan hakim Soeprapto tidak independen dan tergesa-gesa dalam memutuskan perkara. Padahal untuk menjamin impartiality dan fairness dalam memutus perkara, pengadilan dan hakim harus independen tidak hanya terhadap kekuasaan lain, tetapi juga dengan pihak-pihak yang berperkara."
"Keempat, putusan hakim Soeprapto dianggap melukai nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat hal itu dapat dibenarkan karena mengacu pada pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 yang berbunyi “ Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Tentu putusan hakim Soeprapto sangat mengkhawatirkan seluruh pekerja dan buruh se-Indonesia, pasalnya dalam persidangan putusan diatas hakim dapat meminta pekerja/ buruh untuk mengembalikan hak gajinya kepada perusahaan tempat buruh tersebut bekerja."
"Kelima, keputusan yang dihasilkan Ketua Majelis Hakim Soeprapto dalam kasus yang ditanganinya ini sangat jauh dari rasa keadilan karena telah terdapat kepentingan pribadi atau intervensi dari luar. Dengan demikian hakim Soeprapto telah menyalah gunakan jabatannya sebagai hakim (abuse of power), sehingga selain merugikan pihak yang di dzalimi (Mintarsih A. Latief), keputusan Soeprapto telah merusak sistem hukum dan mengacaukan penegakan hukum di Indonesia," ulas Dewa.
Terkait dengan hal ini MPH mendesak kepada:
1. Komisi Yudisial (KY) untuk melakukan penyelidikan kepada hakim Soeprapto yang mendzolimi Mintarsih A Latief, bertindak tidak adil, serta lalai dalam memvalidasi bukti, dan bahkan tanpa mendasarkan keputusan-keputusannya pada Undang-Undang hukum yang berlaku.
2. Meminta kepada Komisi Yudisial (KY) untuk turut segera mungkin mengakomodir laporan yang telah kami berikan.
3. Mendesak Komisi Yudisial (KY) mengkaji putusan hakim Soeprapto terkait pasal 310 dan 311 KUHP yang telah di hapus oleh MK untuk melakukan kajian ulang, sebab pasal diatas telah digunakan Ketua Majelis Hakim Soeprapto untuk memutus perkara, dan memvonis Mintarsih A Latief bersalah.
4. Komisi Yudisial (KY) untuk melakukan penyelidikan kepada Hakim Soeprapto yang mendzolimi Mintarsih A. Latief, bertindak tidak adil, serta lalai dalam memvalidasi bukti, dan bahkan tanpa mendasarkan keputusan-keputusannya pada Undang-Undang hukum yang berlaku.
5. Menghimbau kepada seluruh buruh/pekerja di perusahaan se-Indonesia untuk turut menolak putusan hakim Soeprapto yang mewajibkan Mintarsih A. Latief mengembalikan gaji/ hak yang ia dapat selama puluhan tahun bekerja dan membesarkan perusahaan.
Demi menghasilkan produk-produk hukum yang jernih dan adil, Indonesia membutuhkan hakim yang jujur, independen, dan amanah. Sebab hakim merupakan Wakil Tuhan di dunia dalam menegakkan keadilan, dan kebenaran.
Dengan terus tertundanya laporan mereka, MPH mencurigai adanya permainan terkait kasus ini. "Kami mencurigai memang ada permainan oknum di KY yang sengaja bermain kotor dalam kasus ini. Kami akan datang lagi dengan massa MPH dan kaum buruh," pungkas Dewa.
Anehnya, Kepala Seksi Pengawasan Hakim, Agus mengaku belum menerima laporan tersebut. "Saya belum pernah menerima laporan (Mintarsih A. Latief) itu, belum pernah ada di meja saya," ujar Agus singkat.(rls/bh/sya) |