JAKARTA (BeritaHUKUM.com) Essi Ronaldi merasa yakin mendiang Irzen Octa tewas setelah disiksa para penagih utang (debt collector) di kantor Citibank Menara Jamsostek, Jakarta, pada 29 Maret 2011 lalu.Pasalnya, korban tidak memiliki riwayat penyakit berbahaya, sehingga tidak mungkin tewas hanya karena dibentak-bentak para pelaku.
Hal ini terungkap dalam sidang perkara kasus tewasnya Irzen Octa yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (24/11). Keyakinan ini diungkapkan saksi Essi Ronaldi, karena ia merupakan istri dari almarhum Irzen Octa. Sepanjang menjalani rumah tangga bersama suaminya itu, korban tak pernah memiliki riwayat penyakit berbahaya atau pun jantung.
"Selama bertahun-tahun menjadi istri, saya tidak mendengar suami punya riwayat penyakit membahayakan. Suami saya itu kuat, karena dia kerja di cargo selama puluhan tahun. Pekerjaannya keras., jadi tidak mungkin hanya karena bentakan atau gebrakan meja itu, suami saya kaget llau meninggal," jelas saksi Essi.
Dalam kasus ini, para terdakwa merupakan debt collector Citibank yang didakwa dengan ancaman pidana 12 tahun penjara. Mereka adalah Boy Yanto Tambunan, Humisar Silalahi, Arief Lukman, Henry Waslinton dan Donald Harris Bakara. Para terdakwa ini disangkakan telah merampas kemerdekaan yang menyebabkan kematian korban Irzen Okta.
Pada kesempatan ini, Essi juga menyatakan bahwa korban tidak pernah menceritakan besarnya tagihan utang terhadap Citibank. Bahkan, dirinya tidak pernah mau membuka surat tagihan dari Citibank yang sampai di rumah untuk ditujukan kepada kepada korban. "Untuk masalah uang, itu masalah suami. Saya tidak pernah ikut campur, imbuh dia.
Namun, lanjut Essi, korban pernah bercerita kepadanya bermaksud menawarkan diri kepada pihak Citibank menjadi kurir untuk melunasi kewajiban membayar utangnya itu. Pihak Citibank tidak mengabulkannya dan tetap meminta korban untuk membayar tagihannya itu.
Selanjutnya, akibat tidak ditanggapi tawarannya itu, Irzen Octa pun meminta kasus tunggakan tagihannya sebesar Rp 100 juta itu, diselesaikan di pengadilan. Tetapi hal tersebut pun tidak digubris pihak bank sampai akhirnya Irzen disuruh datang ke Menara Jamsostek.
"Saya yakin suami saya dianiaya. Dia sudah berumur 50 tahun, tak mungkin bertahan mengjhadapi orang-orang muda dan besar seperti itu. Ternyata setelah di otopsi ulang, membenarkan adanya tindak kekerasan terhadap suami saya itu, imbuh Essi.
Ia pun mengakui bahwa dalam otopsi kedua yang dilakukan tim dokter RSCM, membenarnya adanya dugaan itu, setelah dilakukannya otopsi dengan membongkar kuburan korban pada 11 April 2011. Saya minta bantuan ke Pak OC (Kaligis). Dia pun membantu untuk mengupayakan otopsi ulang. Hal ini saya minta, karena melihat ada yang tidak wajar dari kematian suami saya itu, jelas dia.
Menanggapi kesaksian Essi Ronaldi ini, kuasa hukum para terdakwa, Lutfi Hakim menyatakan bahwa visum et repertum dari RSCM menyebutkan bahwa Irzen Octa meninggal akibat stroke. Hal ini akibat penebalan pembuluh darah di otak dan jantung. Itu yang saya ketahui, jelas dia.
Dalam dakwaan sebelumnya, JPU menyebutkan bahwa peristiwa itu berawal, saat korban Irzen Okta mendatangi kantor Citibank Gedung Menara Jamsostek pada 29 Maret 2011. Kedatangan Irzen Okta untuk menemui Boy Tambunan. Korban datang untuk menyelesaikan tunggakan sekaligus komplain atas meningkatnya jumlah tanggihan kartu kreditnya itu.
Lalu, Boy meminta terdakwa Arief Lukman yang bersama Henry Waslinton dan Donalda Harris Bakara menemui Irzen Okta di Ruang Cleo. Ketiganya mengintimidasi Irzen dengan memukul-mukul meja dan menunjukkan jari ke arah korban, agar melunasi hutang sebesar Rp 100.515.663. Korban dipaksa untuk membayar serta melunasi tunggakan hutang kartu seluruhnya yang ternyata bukan 10%, sebagaimana dijanjikan sebelumnya.
Korban meminta izin untuk keluar dari ruangan itu untuk buang air. Namun dicegah para terdakwa. Perbuatan para terdakwa ini telah dengan sengaja merampas kemerdekaan korban Irzen Okta dengan cara melarang keluar ruangan. Irzen Okta mengeluh sakit kepala sampai akhirnya jatuh ke lantai dan meninggal dunia.
Atas perbuatannya itu, para terdakwa dijerat melanggar pasal 333 (3) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Para pelaku telah dengan sengaja merampas kemerdekaan, sehingga mengakibatkan kematian seseorang. Mereka pun terancam hukuman 12 tahun penjara.(tnc/bie)
|