JAKARTA, Berita HUKUM - Social Media for Civic Education (SMCE) sebagai lembaga kajiannya sosial, politik, dan ekonomi melangsungkan acara diskusi Media bertema, "Peran Media Alternatif dalam Meredam Isu SARA di Pemilukada Serentak," pada, Kamis (22/12) yang digelar di Hall Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
Narasumber acara diskusi itu dihadiri oleh tokoh wartawan senior, aktivis dan akademisi seperti; Hariqo Wibawa Satria Direktur Komunikonten, Rouf Qusyairi Ketua SMCE, Agus Sudibyo Pengamat Sosial Media, Fery Kurnia anggota Komisioner KPU Pusat, Bambang Soelistiyo Redaktur Politik Majalah Gatra, serta para mahasiswa serta perwakilan anggota OKP dan Ormas yang bergelut di kota Jakarta.
Wasil, Sekjen SMCE mengatakan bahwa, "media alternatif sangat booming dampaknya. Media alternatif banyak sekali, bisa diakses dan dimiliki tiap personal. Kalau dampak positif berbahagialah seluruh bangsa Indonesia," ujarnya.
"Namun cukup disayangkan media alternatif saat ini digunakan penyebaran issue-issue negatif, maka itulah pada diskusi ini harapan diperoleh cara dan upaya bagaimana mengelola media sosial apalagi di tahun 2007 yang akan menghadapi Pemilukada." paparnya membuka sesi diskusi.
Seperti diketahui bahwa, media alternatif seperti Medsos (media sosial) yang mampu menjadi alat dalam antisipasi ancaman perpecahan yang bisa saja terjadi dikemudian hari, terkadang kurang akurat dari anggapan khalayak, berita atau informasi dari media itu seperti WhatsAp, Facebook, Twitter, BBM, dsb, terkait dengan media digital terkini.
Turut berkesempatan hadir pula, Ketum SMCE, Rouf Qusyairi yang menandaskan bahwa, jelang kisaran dua (2) bulan lagi di hari pencoblosan tahun 2017 Indonesia akan gelar Pemilukada secara serentak. "Tentunya berbagai harapan dan cita-cita, dimana aspirasi itu dapat diwujudkan dari masyarakat dalam momen Pilkada," ungkapnya.
Rouf menuturkan dan berharap, nantinya berbagai elemen, baik KPU, unsur Pemerintah, kelompok masyarakat maupun aparat keamanan memiliki kontribusi dan mendukung berjalannya Pemilukada serentak, hingga semua berjalan lancar, dan sesuai cita-cita Demokrasi.
Sementara, Fery Kurnia selaku anggota Komisioner KPU Pusat menyampaikan bahwa, telah mengetahui gonjang ganjing di media mainstream dan antimainstream (alternatif) hubungannya cukup erat sekali, salah satunya berada di Jakarta. "Padahal, situasi di wilayah Banten juga menarik sekali. 'Head to Head', bahkan di Aceh ada 6 (enam) Paslon. Wilayah Papua, Papua Barat, itu juga menarik dimana di daerah pegunungan. Lalu Gorontalo, Sulbar patut pula diperhatikan," jelasnya.
"Namun 'triger'nya ada disini, Jakarta. Baik itu bahasannya banyak pelanggaran yang melanggar kode etik, ketidakberimbang dimana bias opini tergiring pemilik media. Hal itu merujuk pembelajaran dari Pilpres tahun 2014 silam," jelasnya.
Fery Kurnia juga melanjutkan bahwa, upaya kedepan lebih ke hal-hal yang konstruktif, bukan destruktif. "Momen politik baik itu Pilpres, maupun Pilkada harus dijadikan momen pencerahan. Dimana penyiaran tidak hanya salah satu Paslon, dan meredam isue-issue terkait dengan issue SARA," imbuhnya.
Di lain pihak, Bambang Soelistiyo selaku Redaktur Politik Majalah Gatra memberikan sumbang saran, dimana ketika nantinya meretas dan mengoperasinya informasi di
dunia digital, menyebar informasi dengan disesuaikan dengan
klaidah-kaidah jurnalistik. "Bila hanya dari satu sisi, sebaiknya mulai diperhatikan baik baik. Dan hindari pemberitaan opini. Bila ada gagasan kritis bahkan ada otorisasi dan kadar hoaxnya berkurang," jelasnya mengingatkan.
Bambang Soelistiyo juga mengutarakan, sebenarnya dalam konteks positioning, media sosial bisa dalam posisi mitra media konvensional, dimana saling melengkapi. "Namun disarankan dan patut dicatat bila produksi sebuah berita, kaidah jurnalistik terpenuhi hingga bisa memasuki kesinergisitas," jelas wartawan senior ini.
Sedangkan, Agus Sudibyo selaku pengamat sosial media berpandangan, situasinya saat ini setiap individu (secara sadar dan tidak) sebenarnya yang menggunakan media sosial terekam, baik dari Facebook, Gmail, dsb bahkan bisa dinilai dan dimonitor behaviournya (perilaku).
Yang jadi pertanyaan kembali, sambung Agus Sudibyo, mengapa selama ini masih anggap FB adalah ibarat lapangan sepak bola? Lalu Pengamat News Media Watch yang mengamati media alternatif itupun menyampaikan juga bahwa, di dunia, dikalkulasikan sekitar tahun 2014 seperti Facebook (FB), sempat digunakan sebanyak 1,23 miliar individu, namun sekarang mencapai 1,6 miliar.
"Kalau ada penyebaran ujaran kebencian di media sosial, Facebook harus dua (2) pihak. Dimana orang membuat konten digital itu dan pihak yang menyebarluaskan (pihak perusahaan yang menyediakan aplikasi sosial media itu)," cetusnya.
"Jadi Google, Facebook, Youtube, itu yang bertanggungjawab. Jadi
Tanggungjawab itu dipisah, di 'split'," paparnya, sembari mengulas seperti pada kasus yang menimpa dimana Buni Yani yang bertanggungjawab.
"Ada baiknya pula, FB juga bertanggungjawab, karena yang menyebarluaskan adalah mesin yang dimiliki oleh Facebook," urainya.
"Kan FB itu perusahaan. Nah, selama dia beroperasi disini hukum nasional bisa menjangkau. Kebijakan itu belum ada, maka itulah yang harusnya dirumuskan oleh Pemerintah sekarang," harapnya, sembari mencermati.
"Ada sich UU ITE, tetapi kan UU ITE tidak memisahkan hal itu. Individu
pemilik akun media sosial dengan pengusaha penyedia layanan kan dua (2) pihak berbeda, itu di UU ITE belum dipisah." celetuknya.
"Jadi harus ada pemisahan tanggungjawab dari pemilik akun dan perusahaan penyedia layanan media sosial." tandasnya menyampaikan.(bh/mnd)
|