JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Presiden susilo Bambang Yudhoyono diangga sebagai pemimpin tergombal sepanjangan sejarah kepemimpinan Indonesia. Pasalnya, ia tidak mempedulikan nasib rakyatnya, tapi hanya sibuk mengelola pencitraan dan bukannya mengelola kenyataan.
Pendapat tersebut disampaikan pengamat politik dan kebangsaan Yudi Latif dalam diskusi refleksi akhir tahun yang berlangsung di Mega Institute, Jakarta, Kamis (22/12). Dalam ascara tersebut, turut hadir anggota Komisi XI DPR RI Arif Budimanta dan budayawan Mohammad Sobary.
Menurut Yudi, SBY juga tidak mampu meletakkan alam pikirannya ke dalam alam kebatinan. Ia lebih bangga pidatonya di panggung internasional ketimbang memperhatikan nasib rakyatnya yang masih hidup susah. Sikap ini bukanlah pemimpin sejati.
"Orang yang selalu merasa kurang pencitraannya, bagiamana mau memperhatikan rakyatnya. Dia (Presiden SBY) selalu merasa bangga dengan pidato di panggung internasional dan mendapat pengharagaan, ketimbang mengurusi rakyatnya yang masih susah makan," imbuhnya.
Yudi mengatakan, presiden sebagai seorang pemimpin tidak bisa menempatkan Indonesia ke dalam suatu posisi yang menguntungkan di mata negara lain. Hal ini bisa dilihat pada saat maskapai penerbangan Lion Air membeli 240 pesawat Boeing dari perusahaan AS itu.
"Cina yang membeli 300 Boeing, berani meminta Boeing membuat pabrik di sana untuk menjaga kedaulatan ekonominya. Tapi Indonesia yang membeli 240 pesawat Boeing tidak meminta apa-apa. Mentalitas presiden sebagai seorang pemimpin, tidak lebih hanya seorang pelayan dari negara-negara kapitalis,” selorohnya.
Sementara itu, Arif Budimanta menilai Presiden SBY dianggap tidak hadir dalam memakmurkan rakyatnya, seperti yang diamanatkan konstitusi. Angka pertumbuhan ekonomi yang ditampilkan pemerintah semu, kerena tidak berdampak positif bagi kemajuan rakyat. "Tidak ada perubahan, misalnya untuk konsumsi. Kemudian stabilisasi pangan. Pemerintahan SBY ini absen," ujarnya.
Arif mencontohkan, beras dalam beberapa waktu belakangan ini meningkat lebih dari 10 persen dari 60 persen menjadi 70 persen. "Mestinya, negara harus bertanggungawab sesuai amanat konstitusi. Menyejahterakan rakyatnya. Padahal, rakyat sudah berkontribusi kepada negara dengan membayar pajak,” seloroh dia.
Sedangkan budayawan Mohammad Sobary menyatakan bahwa ketidakhadiran pemerintah dalam setiap masalah yang menimpa rakyat bisa melemahkan citra seorang pemimpin. Hal tersebut memperlihatkan bahwa SBY tidak memiliki 'sense of crisis' dan sikap pemimpin yang kharismatik. Pencitraan SBY yang santun justru semakin memperlihatkan kelemahannya sebagai seorang pemimpin dan hanya menunjukkan dirinya sebagai presiden.
"Pemerintah sudah hadir, tapi dalam keraguan hadir. Artinya sama aja tidak hadir. Dia diharapkan menjadi pemimpin, tapi dia hanya menjadi presiden. Kenapa? Karena dia sudah puas dengan kedudukannya itu," papar mantan Kepala LKBN Antara ini.(mic/wmr)
|