JAKARTA-Rakyat kalangan bawah tidak hanya membutuhkan makanan dan pakaian. Mereka juga memerlukan status yang jelas. Dengan demikian, anak-anaknya bisa bersekolah sehingga bisa meraih cita-cita dan hidup lebih layak serta sejahtera daripada orang tuanya.
“Sayang sekali, pemerintah sering abai terhadap masalah ini. Rakyat harus berjuang sendiri untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi,” ujar mantan Menteri Kordinator Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Rizal Ramli, di sela-sela acara pernikahan masal masyarakat prasejahtera lintas agama di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (19/7).
Menurut Rizal, pemerintah sering absen dari berbagai persoalan yang membelit rakyat. Ketika tenaga kerja Indonesia (TKI) dilecehkan harkat dan martabatnya di luar negeri, pemerintah tidak hadir. Saat harga bermacam kebutuhan pokok naik, dengan dalih hukum pasar, pemerintah tidak berbuat apa-apa. Begitu juga saat bencana terjadi, baik yang ditimbulkan oleh alam maupun karena polah para elit politik, pemerintah juga seperti ada dan tiada. Rakyat menjadi seperti yatim piatu.
“Saya kira apa yang dilakukan lembaga masyarakat ini dengan menikahkan 4.451 pasangan adalah hal luar biasa sekali. Acara ini sangat mengharukan sekaligus menggembirakan. Sebaiknya pemerintah belajar dari mereka, bagaimana caranya melayani dan memenuhui kebutuhan dasar masyarakat. Jangan hanya sibuk dengan politik pencitraan tapi melupakan banyak sekali persoalan besar dan mendasar,” papar Rizal yang juga menjadi saksi pernikahan salah satu pasangan.
Rizal berpendapat, apa yang dilakukan Yayasan Pondok Kasih ini sangat patut diapresiasi. Mereka tidak banyak bicara, tapi justru langsung turun ke lapangan dengan program kegiatan yang konkrit membantu memenuhi kebutuhan masyarakat marginal. Dengan adanya pernikahan masal ini, lanjut dia, masyarakat kalangan bawah bisa memperoleh status pernikahan yang jelas dn memperoleh hak-hak kewarganegaraannya.
4.451 pasangan
Sementara itu, Ketua Umum Panitia pernikahan masal Hana A. Vandayani mengatakan, pernikahan masal kali ini diikuti 4.451 pasangan. Jumlahnya memang terus membengkak, dari semula 2.000 pasangan yang direncanakan. Mereka adalah kalangan masyarakat pra sejahtera yang antara lain terdiri atas para pemulung, pedagang asongan, dan berbagai profesi lain yang dianggap tidak penting, bahkan sering dipandang hina.
“Dengan menikah secara resmi, para pemulung, pengasong, dan kaum marjinal lain pernikahan mereka yang diakui sah secara agama dan administrasi negara. Anak keturunan mereka bisa memperoleh akte kelahiran yang sangat berguna bagi pendidikan yang ujung-ujung bisa memperbaiki tingkat kejesahteraannya,” ujar Hana.
Dia menambahkan, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, setelah menikah mereka hidup lebih teratur dan tentram. Jika sebelumnya mereka sangat mudah berganti pasangan dan cenderung liar, kini tidak lagi. Mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap pasangan dan keluarga.(rls/nas)
|