JAKARTA, Berita HUKUM - Pada pembukaan konferensi perubahan iklim di Paris bulan November tahun lalu, Presiden Jokowi berpidato di depan para pemimpin negara dunia yang hadir dalam pertemuan global tersebut. Presiden Jokowi menyampaikan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dibawah business as usual pada tahun 2030, dan sebesar 41% jika mendapat dukungan internasional.
Penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia akan dilakukan dengan berbagai cara. Dalam bidang energi, salah satu langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah dengan meningkatkan pemanfaatan sumber energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025.
Seperti ingin menunjukkan bukti dari komitmennya itu, pada tanggal 27 Desember 2015, Presiden Jokowi meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 5 MWp di Kupang, Nusa Tenggara Timur. PLTS ini diklaim sebagai PLTS terbesar di Indonesia.
Meskipun menurut perhitungan Greenpeace, pemanfaatan energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025, masih kurang ambisius untuk memastikan pencapaian komitmen pengurangan emisi Indonesia.
Sebagai aktivis Greenpeace, saya tetap mengapresiasi pembangunan PLTS di Kupang, NTT. Pemerintah sudah selayaknya menjadikan komitmen pengurangan emisi yang disampaikan di Paris dan pembangunan PLTS di Kupang, sebagai tonggak sejarah bagi dimulainya revolusi energi di Indonesia. Perubahan besar-besaran dari energi kotor batubara ke sumber-sumber energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan.
Greenpeace dan Kampanye Revolusi Energi
Sejak tahun 2008, Greenpeace Indonesia sudah memulai kampanye revolusi energi, Greenpeace mendorong pemerintah agar segera menghentikan ketergantungan negeri ini terhadap bahan bakar fosil seperti batubara dan beralih ke sumber-sumber energi terbarukan yang bersih dan berlimpah di Indonesia.
Greenpeace berupaya mengubah paradigma para pengambil kebijakan di negeri ini yang menganggap bahwa energi terbarukan mahal dan belum dapat dikembangkan di Indonesia.
Untuk mengubah paradigma pemerintah, dan menunjukkan bahwa sumber-sumber energi terbarukan berlimpah dan dapat dimanfaatkan di negeri ini, Greenpeace memulai berbagai inisiatif yang dilakukan secara mandiri dan bekerjasama dengan masyarakat lokal dan kalangan masyarakat sipil lainnya.
Pada tahun 2011, Greenpeace membangun Pembangkit Listrik Hybrid Tenaga Surya dan Tenaga Angin di Pulau Mansinam, Papua Barat. Peresmian pembangkit listrik bersumber energi terbarukan ini dihadiri oleh Direktur Jenderal Energi Terbarukan pada saat itu, Dr. Luluk Sumiarso. Greenpeace memilih Pulau Mansinam sebagai lokasi instalasi energi terbarukan untuk menunjukkan pada pemerintah bahwa untuk menyediakan pasokan listrik bagi pulau-pulau kecil di pelosok nusantara, pilihan paling tepat adalah dengan memanfaatkan sumber energi terbarukan yang sesuai dengan potensi dan karakteristik lokal.
Berselang setahun, pada Bulan Oktober tahun 2012, Greenpeace mengganti sistem penerangan di sekitar Candi Borobudur dengan menggunakan lampu bertenaga surya. Greenpeace mengganti lampu di sepuluh titik di sekitar Candi Borobudur dengan lampu bertenaga surya atau solar panel yang sampai saat ini masih beroperasi secara baik.
Pada kesempatan itu, Greenpeace dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyepakati untuk berkoalisi dalam "Enter Nusantara" (Energi Terbarukan Nusantara). Wadah yang didirikan untuk memperjuangkan penyediaan pasokan listrik bagi komunitas-komunitas masyarakat adat yang tinggal di pedalaman dan kawasan terpencil, dengan memanfaatkan secara maksimal potensi sumber energi terbarukan yang terdapat di kawasan masyarakat adat itu.
Dalam jangka waktu dua tahun, sejak 2014-2015, Greenpeace bersama-sama AMAN membangun PLTS di kawasan masyarakat adat Dayak Iban di Sui Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Pada bulan November 2015, hampir 80% kebutuhan listrik untuk penerangan di Sui Utik telah dipenuhi oleh inisiatif Enter Nusantara yang dilakukan oleh Greenpeace dan AMAN.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak-dampak perubahan iklim. Selain paling rentan, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang berkontribusi paling besar terhadap emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim.
Komitmen yang disampaikan oleh Presiden Jokowi di Paris menjadi sangat penting untuk dipenuhi, bukan hanya karena menyangkut nama baik Indonesia di kancah perhelatan internasional, tetapi juga karena menyangkut keberlangsungan peradaban umat manusia di masa depan.
Presiden Jokowi harus memimpin revolusi energi di Indonesia, dengan menghentikan ketergantungan Indonesia terhadap batubara dan beralih ke sumber-sumber energi terbarukan. Saya yakin Jokowi bisa dan mau!
Demikian, sebagaimana yang dilansir greenpeace.org yang ditulis oleh Arif Fiyanto yang telah bergabung dengan Greenpeace sejak tahun 2008 sebagai Juru kampanye Iklim dan Energi.(greenpeace/bh/sya)
|