JAKARTA, Berita HUKUM - Wacana penolakan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terus bergulir. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) telah mendesak pemerintah menarik draf yang dinilai bisa melemahkan kewenangan penyelidikan tiga penegak hukum di republik ini.
Termasuk KPK juga bersikap sama. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menegaskan, pembahasan ini harus dihentikan, tidak hanya akan merugikan KPK, Kepolisan dan Kejaksaan, tetapi juga akan mematikan semangat penegakan hukum dan perjuangan melawan korupsi itu sendiri.
“Bahwa penegak hukum harus dikontrol, iya, tapi bukan didelegitimasi, melainkan harus ditingkatkan kompetensinya,” kata Bambang. Apa sebetulnya alasan KPK menolak RUU KUHAP ini?
Bambang menyebutkan setidaknya dua alasan. Pertama, DPR tidak membuka partisipasi masyarakat dalam proses revisi itu, termasuk KPK yang menjadi salah satu penegak hukum selain Kepolisian dan Kejaksaan, tidak sekalipun disertakan dalam pembahasan. “Rakyat sebagai pemilik kedaulatan justru disingkirkan dalam seluruh pembahasan itu.”
Kedua, soal masa kerja DPR kini tersisa 108 hari dengan 1.169 daftar inventarisasi masalah (DIM). Waktu yang relatif singkat itu, menurut Bambang, sulit bagi DPR dalam membahas pasal-pasal substantif sehingga menghasilkan perubahan KUHAP yang berkualitas baik.
Penolakan atas RUU KUHAP ini juga datang dari sejumlah lembaga dan elemen masyarakat. Komite untuk Pembaruan Hukum Acara Pidana (KuHAP) yang terdiri dari beberapa lembaga, di antaranya ICW, PSHK, dan ILRC, cukup gerah melihat DPR bersemangat menuntaskan pembahasan revisi KUHAP. Menurut KuHAP, ada skenario besar untuk menghancurkan KPK.
Wakil Koordinator ICW, Agus Sunaryanto menyatakan, hanya koruptor dan pendukungnya yang punya niat untuk melemahkan atau bahkan membunuh KPK. Menurut Agus, penghapusan itu tidak hanya mengancam KPK, tapi juga penegak hukum lain seperti kejaksaan dan kepolisian dalam upaya pemberantasan korupsi.
"Kami khawatir Ini upaya perlawanan balik koruptor terhadap KPK melalui proses legislasi DPR. Dan bukan tidak mungkin koruptor ada di balik atau menunggangi revisi UU KUHAP," tegasnya.
Karena itu, ICW mendesak DPR untuk menghentikan pembahasan dan meminta pemerintah menarik dukungannya. Tak hanya itu, ICW juga akan menggalang dukungan publik, agar politisi yang berupaya melemahkan KPK dan mendukung revisi KUHAP untuk tidak dipilih dalam Pemilu 2014.
"Kalau ini diteruskan, KPK adalah lembaga yang paling terkena imbasnya,” kata Agus.
Apa saja kewenangan KPK yang akan lumpuh, kalau RUU KUHAP disetujui?
Bambang memaparkan sejumlah kemungkinan yang bakal terjadi. Pertama, soal dihapuskannya ketentuan Penyelidikan dan hanya mengatur ketentuan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 RUU KUHAP. Peniadaan fungsi penyelidik memiliki konsekuensi hukum bagi seluruh institusi penegak hukum. Termasuk KPK, yang akan kehilangan sejumlah kewenangan penyelidikan, antara lain, wewenang untuk memerintahkan pencekalan, penyadapan, pemblokiran bank termasuk melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).
“Kalau penyelidikan dihilangkan, maka di KPK tidak boleh lagi dilakukan tindakan-tindakan itu dan sulit dalam mengumpulkan minimal dua alat bukti,” kata Bambang.
Kedua, soal penyadapan, kata Bambang, harus mendapatkan izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan (pasa 83). Dalam keadaan mendesak, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan (pasal 84). Sayangnya, dalam ketentuan lain, bila hakim tidak setuju, hal itu bisa dihentikan.
Selanjutnya, kata Bambang, RUU KUHAP juga tidak mengakomodasi ketentuan pembuktian terbalik, putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi (pasal 250), putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung (pasal 84), dan tidak memiliki kewenangan perpanjangan penahanan pada tahap Penyidikan (pasal 58).(kpk/bhc/sya)
|