JAKARTA, Berita HUKUM - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] mengapreasiasi kinerja aparat Kepolisian dalam penanganan peristiwa 21-22 Mei 2019. KontraS memahami bahwa pengungkapan fakta kebenaran dan penegakan hukum oleh aparat Kepolisian masih dalam proses. Namun, mengingat peristiwa ini merupakan peristiwa besar yang menjadi pusat perhatian publik dan terdapat dugaan adanya pelanggaran hukum serta hak asasi manusia.
Maka oleh karena itu, KontraS memandang perlu menyikapi press release Polri tentang "Perkembangan Kerusuhan 21-22 Mei 2019" pada 11 Juni 2019, disampaikan dikantor Kemenkopolhukam. Dari pernyataan tersebut, kami menggarisbawahi beberapa hal penting, antara lain:seperti pemaparan polri yang kurang spesifik dalam menyebutkan 9 orang korban tewas sebagai orang-orang yang diduga perusuh.
Ucapan Polri menyebut 9 korban tewas adalah perusuh, kami nilai terlalu dini sebab belum ada kepastian tentang keikutsertaan korban dalam aksi 21-22.
"Polri menyebutkan 9 orang korban tewas sebagai orang-orang yang diduga perusuh. Terkait hal ini, kami menyanyangkan Polri hanya memberikan kesimpulan bahwa korbannya adalah perusuh. Tetapi tidak menjelaskan lebih detail peran dan keterlibatan mereka sebagai perusuh, pelaku penembakan, penyebab kematian dan hasil rekontruksi TKP, uji balistik dan bukti-bukti lain. Tanpa penjelasan tersebut, maka, kesimpulan tersebut bisa memunculkan asumsi di publik terkait dengan pelaku penembakan," ungkap KontraS, Kamis (13/6).
Polri menyebutkan personil aparat tidak menggunakan peluru tajam. Sementara, informasi yang kami terima dari keluarga korban (keterangan dan foto/video) menyebut terdapat bekas luka tembak. Namun, hal itu luput disampaikan oleh Polri.
Lebih lanjut, Kontras memandang rilis Polri atas Peristiwa kerusuhan 21 - 22 Mei tersebut semakin membuat bias informasi yang dapat memperuncing polarisasi dan dikotomi yang membelah masyarakat dalam kedua kubu pendukung 01 dan 02.
"Penyampaian oleh Polri seharusnya menunjukkan independensi dan akuntabilitas sehingga tidak memunculkan bias informasi. Selain itu, proses penegakan hukum ini juga terlihat timpang. Aparat kepolisian juga harus terbuka terkait pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan oleh personilnya atau oleh siapa pun yang diduga ikut bertanggungjawab baik karena tindakan langsung maupun akibat dari pembiaran. Tidak boleh ada impunitas dalam penegakan hukum. Kami menemukan informasi bahwa ada peserta aksi yang menjadi korban salah tangkap, mengalami kekerasan," lanjut KontraS.
KontraS juga gambalang menyebutkana adanya pelanggaran hukum yakni pembatasan akses terhadap saksi maupun tersangka. Berdasarkan pengaduan yang KontraS terima, orang - orang yang ditangkap kesulitan dalam bertemu dengan keluarganya. Selain itu tidak mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum/advokat.
"Pembatasan ini jelas bertentangan dengan Pasal 60 KUHAP, di mana setiap tersangka berhak untuk menerima kunjungan dari keluarganya," jelas KontraS.
Tidak hanya itu, KontraS juga menyingung soal penjelasan Polri yang tidak tuntas terkait temuan Majalah Tempo mengenai "Tim Mawar dan Rusuh di Sarinah" yang berisikan tentang dugaan keterlibatan eks-anggota Tim Mawar, Fauka Noor Farid, dalam aksi kerusuhan yang terjadi.
KontraS juga menilai penting untuk dilakukan penyelidikan atas dugaan adanya indikasi unsur pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa ini. Untuk menemukan sejauhmana peristiwa ini terjadi secara terencana, sistematis dan meluas yang berdampak sangat signifikan.
Aparat kepolisian juga harus terbuka terkait pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan oleh personilnya atau oleh siapapun yang diduga ikut bertanggungjawab baik karena tindakan langsung maupun akibat dari pembiaran.
Maka perlu adanya Tim Pencari Fakta untuk menemukan aktor pelanggaran HAM yang berat, yang melibatkan aktor dari negara dan atau nonnegara? Selain itu, juga untuk memastikan pemenuhan hak asasi manusia terhadap warga yang menjadi korban dalam peristiwa ini.
Adanya korban dalam peristiwa ini seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah dan aparat penegak hukum untuk mengusut lebih dalam aktor - aktor yang terlibat dan bertanggungjawab.
"Dalam kesempatan yang sama KontraS mendesak Presiden Joko Widodo, sebagai kepala Negara harus bertanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan ini," tegas KomtraS.
Pembentukan Tim Pencari Fakta untuk mengusut peristiwa dan menemukan aktor-aktor yang bertanggungjawab dan terlibat dalam peristiwa ini menjadi indikator penting untuk mengukur sejauhmana pemerintahan Jokowi mengedepankan penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Lembaga negara, seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, LPSK, Komnas Perempuan, KPAI agar lebih proaktif berperan dan menjalankan tanggungjawabnya terhadap penanganan peristiwa ini. Publik menunggu laporan hasil temuan dari lembaga-lembaga negara tersebut.
"KontraS ingin mengatakan bahwa sembilan nyawa yang melayang ini merenggut hak fundamental manusia. Pengungkapan kebenaran atas kematiannya, tak kalah penting dengan percobaan pembunuhan 4 tokoh publik yang mana tak dijelaskan juga o/ polisi motif dan tujuan rencana tsb," pungkas KontraS.(dbs/kontras/reqnews/bh/mnd)
|