*Pemberian gelar HC kepada Raja Arab Saudi berbuntut pelengserannya
JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Kisruh di tubuh UI terkait pemberian gelar doktor honoris causa (HC) kepada Raja Abdullah, makin berkepanjangan. Rektor UI, Gumilar Rosliwa Somantri tak mau disalahkan sepenuhnya atas pemberian gelar tersebut.
Menurut Gumilar, pemberian gelar HC yang diberikan kepada Raja Abdullah telah diketahui pihak-pihak terkait di UI termasuk Majelis Wali Amanat (MWA), karena ini merupakan salah satu bentuk state diplomatic yang dilakukan UI sebagai sumbangsih bagi negara.
"MWA sudah tahu, kami punya bukti keikutsertaan mereka dalam proses pemberian gelar HC kepada Raja Abdullah," ujar Gumilar di ruang Rektorat UI, Senin (5/9).
Gumilar menambahkan, sebenarnya saat ini MWA telah seperti menjadi macan ompong pascapengguguran Peraturan Pemerintah Nomor 152 tahun 2000, yang digantikan Peraturan Pemerintah No 66 tahun 2010. Kepengurusan MWA sendiri akan berakhir pada Desember 2011.
Namun, dengan dicabutnya PP Nomor 152 tahun 2011 tentang BHP, MWA tidak bisa dan tidak punya kewenangan untuk penggulingan rektor, seperti isu yang tengah bergulir saat ini di masyarakat.
Terkait dengan gugurnya MWA, Gumilar mengatakan saat ini pengawasan langsung oleh pemerintah di bawah Menteri Pendidikan Indonesia dan juga Senat Akademi Universitas (SAU).
"SAU yang baru telah kami bentuk, dan sekarang pertanggungjawaban langsung kepada pemerintah lewat menteri. Dan untuk keuangan kami langsung diaudit BPK, karena sekarang kami anak pemerintah pasca pencabutan BHP," jelas Gumilar.
Saat ditanya mengenai keterlibatan MWA, SAU, dan Dewan Guru Besar mengenai pemberian gelar HC, Gumilar menjelaskan sebenarnya mereka tidak perlu terlibat. "Hampir di seluruh dunia pemberian gelar HC tidak perlu minta persetujuan MWA dan Guru Besar, di mana mereka seharusnya lebih fokus dalam kegiatan akademik seperti penelitian,” jelas dia.
Sementara itu, Guru Besar FE UI, Emil Salim yang juga Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UI, mengatakan, dirinya beberapa hari ini mendapat ratusan sms maupun surat elektronik yang mengungkapkan keprihatian tata kelola pimpinan UI, yang kemudian berujung pada penumbangan Rektor UI.
"Pemberian gelar kepada Raja Abdullah tidak menjadi urusan kita, karena pihak rektor tidak mengikutsertakan kita sebagai pihak yang memang seharusnya diajak dalam proses pemberian gelar tersebut," kata Emil selepas orasi ilmiahnya.
Dalam kasus pemberian gelar itu pihak rektorat UI tidak mengikutsertakan MWA, Senat Akademi Universitas, dan Dewan Guru Besar sehingga polemik pun muncul di luar masalah pemberian gelar. "Jika pihak-pihak tersebut tidak diajak duduk bersama, maka untuk apa fungsi kita. Padahal saya masih belum diberhentikan oleh Kemendiknas sebagai Ketua MWA," ujar Emil.
Kekisruhan yang ada dalam lembaga pendidikan sekelas UI, dikhawatirkan Emil bisa menjadi kendaraan politik segelintir golongan. Untuk itu, pihaknya sebagai Ketua MWA, yang mewakali Senat Akademi Universitas dan Dewan Guru Besar menuntut adanya transparans di wilayah pimpinan UI.
Setidaknya ada lima tuntutan yang yang dibacakan dalam orasi Emil, yaitu pola manajemen yang transparan, akuntabilitas, partisipasi penopang kepentingan universitas, perkembangan check and balance, dan tumbuhnya suasana kreatifitas di kampus UI.
Bukan Instruksi Presiden
Dalam kesempatan terpisah, juru bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak pernah menginstruksikan Mendiknas M Nuh dan Sekretaris Kabinet Dipo Alam turut campur dalam kisruh di Universitas Indonesia. Presiden pun tidak akan intervensi soal pemberian gelar doktor honoris causa kepada Raja Arab Saudi.
Julian menanggapi hal ini, karena ada tudingan bahwa dugaan keterlibatan kedua pejabat negara itu dalam meredakan tensi tinggi di UI atas perintah presiden. Menurut Julian, pemberian doktor honoris causa oleh sebuah institusi perguruan tinggi adalah keputusan intern dari perguruan tinggi tersebut. "Jadi, tidak ada kaitan atau tidak ada perintah presiden sebagaimana yang ditanyakan tadi terhadap apa yang menjadi kontroversi di lingkungan UI,” jelasnya.
Meski tidak memerintahkan Mendiknas dan Seskab ikut campur, Presiden diindikasikan merestui keduanya bertindak sebagai mediator.
Seperti diberitakan, pemberian gelar tersebut membuat sejumlah sivitas akademi UI menggulirkan wacana pelengseran Rektor UI Gumilar Rosliwa Sumantri dari jabatannya. Pasalnya, Rektor UI dinilai tidak peka karena telah memberikan gelar yang di belakangnya membawa embel-embel kemanusiaan dan ilmu pengetahuan teknologi kepada Raja Arab Abdullah bin Abdul Azis. Apalagi, Indonesia baru berduka karena seorang tenaga kerja wanita Ruyati tewas dihukum pancung di negara tersebut.(mic/rob)
|