JAKARTA, Berita HUKUM - Pengamat politik Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mempertanyakan isi dari Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
Sebab, ia menilai kewenangan TNI dalam draf regulasi itu terlalu luas.
Seperti dilibatkannya TNI dalam pencegahan aksi terorisme.
"Di TNI banyak sekali organ-organnya. Yang mau dipakai satuan yang mana? Apalagi sampai di (Rancangan) Perpres ini kewenangannya terlalu luas sampai dengan pencegahan," ujar Ray dalam webinar 'TNI dan Terorisme: Menguji Perpres Pelibatan TNI Dalam Penanganan Terorisme', yang digelar Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina, Rabu (18/11).
Menurut Ray, tak tepat jika TNI diikutsertakan dalam pencegahan tindak terorisme. Sebab bukan merupakan keahliannya.
"Kalau pencegahan itu jelas kerja sipil bukan TNI, kalau TNI ya lumpuhkan. Sementara khas sipil ya dialog dan persuasif," tuturnya.
Ray memandang, pelibatan TNI dalam menangani terorisme merupakan upaya sipilisasi militer oleh pemerintah.
Seperti yang pernah dilakukan di zaman Orde Baru (Orba), atau masa Presiden Soeharto berkuasa.
"Pelibatan TNI dalam tangani terorisme, menurut saya adalah sipilisasi TNI, yakni upaya menarik kembali TNI ke ranah dan aktivitivitas sipil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," kata dia.
Sipilisasi ini, dinilai Ray berpotensi menimbulkan tumpang-tindih tugas dan kewenangan antara TNI-Polri.
Terlebih, dalam Rancangan Perpres tak dijelaskan secara rinci tata-cara serta tolak ukur pelibatan militer dalam menangani teroris.
"Pelibatan TNI dalam upaya penanggulangan terorisme yang jadi pertanyaan kita mekanisme dan skalanya seperti apa? Pertanggungjawabannya apa?" tandas Ray.(bh/mos) |