Manusia sejagad dilahirkan dengan tiga potensi, yakni liberitas, humanitas, dan transendenitas. Tiga "sunnatullah" pada diri manusia ini yang menjadikan manusia bergerak dan melakukan usaha-usaha, pembebasan, kemanusiaan, dan ketuhanan.
Manusia tidak ingin dikekang, dibelenggu, dihegemoni, didogma oleh apapun. Tetapi manusia akan selalu menginginkan kebebasannya dibatasi oleh kebebasan humanistis dan dikekang oleh kekuasaan ilahiah. Kita akan selalu membebaskan diri untuk tidak bebas.
Setiap rakyat adalah pemimpin yang memiliki ruang kekuasaan untuk mengatur dan menentukan untuk dirinya, untuk kemanusiaannya dan untuk transendesinya. Kita bebas menentukan dan menggunakan ruang-ruang itu. Khususnya untuk pengabdian kita pada kemanusiaan dan mengagungkan kemuliaan Tuhan. Bertuhan artinya menyerahkan sepenuhnya kebebasan dan kemanusiaan kita kepada Tuhan.
Seperti halnya konsep bertuhan, sejatinya pendulum kekuasaan adalah "bertuhan" pada rakyat. Kita menyerahkan tujuan dan fungsi kekuasaan pada kehendak rakyat. Bertuhan pada rakyat adalah mengabdi, melayani, dan "menghambakan" diri pada kepentingan rakyat. "Bertuhan" pada rakyat adalah sebuah totalitas pengabdian kita pada rakyat yang memberi amanah kepada kita sebagai pemimpin rakyat, sebagai khalifah umat.
Rakyat seperti apa yang berhak mendapatkan "pengabdian" totalitas dari pemimpinnya? Rakyat yang menyerahkan hak kepemimpinannya kepada penguasa melalui bilik-bilik pemungutan suara, melalui ba'iat dan perjanjian, dan melalui sumpah yang dideklarasikan. Rakyat yang senantiasa memuliakan kehidupan dan mengagungkan Tuhan.
Pemimpin seperti apakah yang dapat menerima amanat kepemimpinan umat, mandat kekuasaan yang diserahkan oleh warga negara? Merekalah para pemimpin yang datang pagi-pagi dan pulang petang-petang untuk memikirkan rakyatnya. Merekalah para penguasa yang menggadaikan hidupnya dan mewakafkan nyawanya untuk memuliakan umatnya, memuliakan rakyatnya. Merekalah pemimpin yang membebaskan, yang memanusiakan, dan yang transendensial.
Negeri yang kita bangun adalah negeri yang dianugerahkan Tuhan untuk memuliakan kemanusiaan dan alam semesta. Negeri yang sejuk dan dinamis. Negeri yang santun dan damai. Negeri yang rakyatnya bekerja keras dan toleran. Negeri yang di dalamnya tidak menjadikan kitab suci dijual untuk kepentingan politik kekuasaan. Negeri yang tidak bertaburan ayat-ayat tapi sepi amal perbuatan. Negeri yang ketika pagi begitu hangat, dan kala senja begitu segar. Negeri yang hujan datang tanpa membawa bencana dan panas hadir tanpa kekeringan. Negeri yang rimbun pepohonan dan di kanan kirinya air mengalir dengan kecupan-kecupan.
Bukan negeri biadab. Yang dihuni para bromocorah dan koruptor bejat. Bukan negeri jahiliyah yang dibungkus seolah-olah paling surga. Bukan negeri yang diseragamkan dengan pentungan dan teriakan-teriakan kafir dan sesat. Bukan negeri yang rakyatnya lebih memilih mati dari pada hidup. Bukan negeri yang penuh khotbah surgawi dan bervisi mengawini seribu bidadari perawan dalam semalam. Bukan negeri yang pemimpinnya bersekutu dengan kejahatan, kriminalitas, korupsi dan pengusaha serakah dan suka berfoya foya dan tak punya malu.
Sering kali kita mendengar, pemimpin tidak pernah hadir dalam kehidupan rakyatnya. Rakyat tidak hadir pada pemimpinnya. Negeri ini pun terkulai oleh silang sengkarut. Tak ada kemuliaan yang disemaikan. Tak ada keagungan yang ditebarkan.
Yang bertasbih membunuh yang bersajadah. Yang berjenggot melukai yang berkumis. Yang bundar menghinakan yang segitiga. Yang kumuh curiga pada yang berdasi. Yang majikan acuh pada yang proletar.
Tahun 2011 begitu banyak rentetan kekuasaan yang jahil. Kekuasaan yang bisu dari kesibukan aktivitas rakyatnya. Kekuasaan yang tuli dari deru keringat dan kerja keras umat.
Kita menapaki tahun baru yang mungkin saja gusar. Garis start perebutan kekuasaan seolah telah dibuat. Masing-masing kontestan sudah siap untuk berlari. Tetapi rakyat menjadi gusar. Untuk apa mandat diberikan jika mereka masih "bertuhan" ada jabatan dan segala atribut popularitas. Tuhan saja malas disembah oleh para penjilat yang tak ikhlas. Tuhan tidak butuh ibadah ada hamba-Nya. Kitalah yang membutuhkan Tuhan. Kita, para pemimpin, yang membutuhkan rakyat.
Di awal tahun ini, kita mesti menempatkan diri secara lebih tepat, lebih merakyat. Kompetisi kekuasaan memang belum dimulai, tetapi semestinya siapapun pepimpin negeri ini mestinya menjadikan rakyat sebagai "tuhan" baru, untuk "disembah" dan dilayani.
Selamat tahun baru…
|