JAKARTA, Berita HUKUM - Politikus Partai Golkar, Firman Soebagyo mengatakan bahwa RUU Penyiaran harus memberikan kepastian hukum kepada semua pihak dan tidak boleh ada diskriminasi.
Sehingga, jangan sampai dibuat untuk menggeser monopoli di satu tempat, namun menggesernya ke lembaga lain. Firman menilai UU harus bisa menjamin eksistensi pelaku usaha yang menjadi pilar ekonomi nasional, jangan sampai menimbulkan dampak pengangguran.
Firman Soebagyo meminta sebelum pengesahan, RUU Penyiaran dikembalikan ke
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Pasalnya bila tidak maka pengesahan RUU Penyiaran akan menabrak sejumlah aturan.
Pertama tentang tata cara penyusunan RUU, yaitu UU 12/2011 dan kemudian UU MD3 Nomor 17 Tahun 2014 dan juga peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang tatib dan peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2014.
Menurut Firman, apabila pengesahan RUU Penyiaran dipaksakan, akan menjadi preseden buruk bagi DPR dalam membuat perundang-undangan.
"Akan menjadi preseden buruk, oleh karenanya dikembalikan terlebih dahulu ke Baleg," kata Wakil Ketua Baleg, Firman Soebagyo di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (1/2).
Diantara fraksi di DPR sendiri belum ada kesepatan mengenai RUU Penyiaran, terutama masalah penerapan single mux atau multi mux. Oleh karenanya RUU tersebut masih terus dibahas.
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengusulkan agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyiaran ditunda untuk mencari jalan tengah terkait beberapa poin.
"Kami minta agar ini ditunda dan tetap dibahas melalui mekanisme di Baleg," ujar Firman Soebagyo, fraksi Golkar dari Dapil Jawa Tengah III.
Dia mengatakan, dalam pembahasan RUU Penyiaran sedang dicarikan jalan keluar yaitu keinginan Komisi I DPR mengarah pada frekuensi tunggal (single mux). Karena itu, menurut dia, kalau itu diterapkan maka industri penyiaran swasta harus berproses ulang untuk mencari frekuensi, karena ada pembentukan lembaga penyiaran baru oleh pemerintah.
"Kita lihat sekarang adalah posisi di dunia penyiaran sudah berjalan dan mereka itu mendapat frekuensi sesuai prosedur, kemudian diikuti oleh mereka dan proses berjalan dan mendapatkan frekuensi. Swasta sudah menyerahkan frekuensinya, misalnya dari tiga frekuensi yang dimiliki, diserahkan dua kepada negara," jelasnya.
Firman mengatakan, Komisi I DPR mengusulkan agar soal frekuensi dikembalikan kepada negara agar tidak terjadi monopoli di sektor swasta. Namun di sisi lain menurut dia, kalau ditarik semua ke lembaga penyiaran pemerintah, maka akan menggeser pola monopoli baru yaitu ada di lembaga pemerintah.
"Itu kan tidak adil, kami pikirkan keberadaan lembaga penyiaran swasta yang ada kalau keputusan single mux terjadi, maka akan ada pengangguran besar-besaran di lembaga penyiaran swasta. Televisi swasta ke depan akan seperti production house karena semua dikendalikan lembaga penyiaran pemerintah," tuturnya.
Apalagi secara substansi, kata dia, pada draf RUU Penyiaran tersebut ternyata akan memerintahkan beberapa perusahaan swasta di industri pertelevisian untuk menyerahkan sebagian frekuensinya kepada pemerintah, sehingga nantinya swasta hanya bisa memiliki satu frekuensi.
"Frekuensi milik swasta yang akan dikembalikan ke pemerintah tujuannya agar tidak terjadi monopoli di swasta. Tetapi masalahnya, kondisi tersebut justru akan menggeser bentuk monopoli yang akan dilakukan pemerintah melalui UU Penyiaran," ucapnya.
Lebih lanjut Firman menjelaskan, konsep bisnis di draf RUU Penyiaran yang akan memicu praktik monopoli pemerintah di industri pertelevisian, karena ada penerapan konsep single mux operator dan penetapan satu penyelenggara penyiaran multipleksing digital.
Padahal, posisi swasta existing sudah berjalan sesuai prosedur kepemilikan frekuensi.(bh/as) |