JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menduga adanya pasal pesanan korporasi dalam draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun serta Dumping. Draf ini sendiri masih disusun tim dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
"Kami menilai ada dugaan pasal dalam RPP ini yang bukan regulasi untuk mengatur korporasi sebagaimana lazimnya sebuah negara yang berdaulat. Pasal pesanan itu untu kepentingan korporasi," kata Direktur Eksekutif Walhi Berry Nahdian Forqan di Jakarta, Kamis (22/03).
Menurut dia, pasal pesanan korporasi tersebut, antara lain dalam draf pasal 20, 55, dan pasal 94. Pesanan pasal oleh korporasi ini, dapat mengakibatkan bahaya pada lingkungan dan keselamatan masyarakat. Seperti pasal 20 yang menjelaskan penghapusan status limbah B3 (delisting) pada saat ini.
Draf pasal pesanan itu, lanjut dia, dapat menjadi celah bagi limbah berbahaya keluar dari daftar limbah B3. "Dalam pasal 20 soal delisting, limbah B3 akan dianggap limbah tidak berbahaya lagi atau bebas beredar dan bisa keluar dari daftar limbah B3 yang selama ini diawasi dan diatur serta harus melalui tahapan pengujian," ungkapnya.
Sedangkan draf pasal 55, jelas Berry, menyatakan bahwa limbah B3 akan dianggap tidak limbah B3 apabila sudah di-SNI-kan. Hal ini bisa rancu, karena hanya dengan merubah bentuk atau kemasan maka suatu produk tersebut sudah bisa mendapat sertivikat SNI, sehingga bisa dianggap sudah bukan limbah B3 lagi. "Artinya, erusahaan penghasil limbah B3 makin leluasa membuang limbahnya tanpa pengawasan ketat," tutur Berry.
Berry mencontohkan bunyi draf pasal 55 ini dnegan kasus yang terjadi di Desa Mulyasejati, Kerawang, Jawa Barat. Menurutnya, sebuah perusahaan pengelola limbah B3, PT TJS melakukan penimbunan limbah B3 di lubang bekas galian C di lahan seluas 4 hektare. "Penimbunan ini berjarak dekat dengan pemukiman penduduk yang menggunakan air sumur dan persawahan. Tapi hingga sekarang kasus pidana penimbunan limbah yang bisa menyebabkan kanker atau kerusakan janin, mengendap di KLH dan Polda Jabar," paparnya.
Pendapat serupa disampaikan Manajer Kampanye Tambang Walhi, Pius Ginting. Ia pun mencurigai bahwa dalam draf Pasal 94 yang mengatur proses dumping (pembuangan limbah di laut) harus di kedalaman lebih besar dari 100 (seratus) meter, pada lokasi yang menunjukkan adanya ngarai/lembah di dasar laut. "Draf pasal ini jelas-jelas sangat disesuaikan dengan kondisi pembuangan limbah PT. Newmont Nusa Tenggara," jelas dia.
Atas dasar ini, Walhi dan LBH Jakarta menolak RPP Pengeloloaan Limbah B3 dan Dumping tersebut. Pemerintahan SBY sepertnya tidak mampu keluar membebaskan diri dari pesanan korporasi dalam membuat regulasi. Mereka pun meminta dipertahankannya PP Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 yang lebih baik dari draf RPP itu.(bhc/biz)
|