JAKARTA, Berita HUKUM - Kaukus Muda Indonesia (KMI) menggelar diskusi publik terkait "Quo Vadis Kebijakan Minerba Nasional Melalui Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017" di Hotel Sahid Jakarta pada, Selasa (21/2).
Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 1 Tahun 2017, yang merupakan revisi ke-4 dari PP nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan kegiatan usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), yang diikuti oleh aturan turunan pelaksanaan berupa Permen ESDM No 5 tahun 2017 dan Permen ESDM No 6 tahun 2017.
Pantauan pewarta BeritaHUKUM.com di lokasi acara, turut hadir selaku narasumber; Ahmad Redi, SH, MH sebagai Pengamat Sumber Daya Manusia/Dosen Universitas Tarumanegara, serta kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional Melky Nahan, dan Ketua Kaukus Muda Indonesia (KMI) Edi Humaidi.
Presiden Joko Widodo telah menerbitkan PP No 1 tahun 2017, merupakan revisi ke-4 dari PP nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan kegiatan usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), diikuti aturan turunan pelaksanaan berupa Permen ESDM No 5 tahun 2017 dan Permen ESDM No 6 tahun 2017, ungkap Ketua KMI, Edi Humaidi, Selasa (21/2).
Menurutnya, "Pemerintah menyatakan bahwa terbitnya PP dan Peraturan Menteri ( Permen) Enegi Sumber Daya Mineral (ESDM) tersebut guna menegakkan pengelolaan Minerba sesuai Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, sehingga memberikan manfaat/keuntungan yang lebih besar bagi Negara, yakni peningkatan penerimaan Negara, terciptanya lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. Manfaat yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional, iklim investasi yang kondusif dan diinvestasi hingga mencapai 51 persen," ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut Edi berharap, aturan itu dapat mewujudkan peningkatan nilai tambah mineral logam melalui kegiatan pengelolahan dan pemurnian mineral logam di dalam Negeri.
"Aturan tersebut, akan berdampak terhadap industri pertambangan nasional, sehingga untuk perusahaan pertambangan mineral tembaga seperti, PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) diperbolehkan mengekspor konsentrat (hasil pengolahan) tembaga pasca 12 Januari 2017 (selama 5 tahun ke depan)." jelas Edi.
Namun begitu, Kata Edi, hal itu bisa terjadi jika PTFI dan PT AMNT bersedia merubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan memenuhi persyaratan lainnya, seperti komitmen Smelter, pembayaran bea keluar dan lainnya.
Sementara, "untuk perusahaan Nikel dan Bauksit seperti, PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk dan PT Well Harvest Winning Alumina Refinery diperbolehkan melakukan ekspor mineral olahan apabila memenuhi kadar yang ditetapkan (Kadar nikel <1,7% dan bauksit kadar A1203 >42%) dan berkomitmen membangun smelter," pungkas Edi.
Sedangkan, Dr Ahmad Redi, SH. MH selaku Pengamat Sumber Daya/Dosen Universitas Tarumanagara mengharapkan ke depan, sudah seharusnya pemegang administration dipegang oleh pemerintah Indonesia, bukan lagi dipegang oleh PTFI.
Ahmad Redi menyampaikan bahwa, PT Freeport Indonesia (PTFI) sudah terlalu lama diberikan kemudahan operasinya di Indonesia. "mestinya PTFI memenuhi kewajiban seperti pembangunan pengolahan dan Smelter yang tidak juga dilakukan," cetusnya.
Menurutnya, hak ini terjadi lantaran PTFI dinilai banyak melakukan kesalahan terhadap administrasi. "Harapan saya Pemerintah Indonesia harus berani mengambil langkah berkewajiban menolak kontrak dengan PTFI. Karena, kita Negara bebas dan merdeka," tegas Ahmad Redi.
"Pemerintah melalui konsorsium BUMN semestinya menjadi pengelola di tambang Grasberg Papua. Sudah saatnya Pemerintah, semisalnya PT. Bukit Asam, PT Timah, PT Antam dan Inalum melalui Holding ambil alih saja, dan atau melalui Perbankan, konsorsium BUMN Perbankan yang ambil alih 'take over' disana," pungkas Redi.(bh/mnd) |