*Dikenal perhatian terhadap koruptor dan rajin memberikan remisi
JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Mantan Menteri Kehakiman Muladi menolak pemberian remisi (pemotongan masa pemidanaan) kepada narapidana (napi) untuk kasus korupsi dan terorisme. Pasalnya, kedua jenis tindak pidana itu adalah kejahatan luar biasa (extra ordonary crime) yang merusak sendi kehidupan bangsa.
Untuk itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus mencopot pejabat yang memberikan remisi kepada napi yang terlibat dua kejahatan itu. Pejabat yang dimaksudkan Muladi itu adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Patrialis Akbar.
“Pejabat yang memberikan remisi kepada napi korupsi dan teroris, sama juga melakukan kejahatan luar biasa. Kedua perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang luar biasa dan merusak harkat martabat bangsa. Mengapa harus diberikan remisi bagi pelakunya? Presiden harus berani mencopot menteri yang memberikan remisi bagi koruptor dan teroris,” kata mantan Gubernur Lemhanas Muladi kepada wartawan, usai menghadiri open house di kediaman mantan Wapres Jusuf Kalla di Jakarta, Kamis (1/9).
Seperti diketahui, pada perayaan hari kemerdekaan RI lalu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memberikan remisi kepada 408 orang dari 1.008 napi kasus korupsi di Indonesia. Dari jumlah penerima remisi, 19 koruptor ini memperoleh revisi umum II atau langsung bebas karena masa hukumannya berakhir. Sedangkan pada perayaan Idul Fitri, sebanyak 235 napi korupsi dapat remisi, delapan di antaranya mendapat remisi bebas.
Dalam kesempatan ini, Muladi sangat menyesalkan kebijakan serta pernyataan Patrialis bahwa remisi itu merupakan bagian dari negara yang beradab dan menghargai HAM. Politisi PAN itu pun diminta Muladi untuk berkaca kepada Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang dianggap paling menghargai HAM. Tapi untuk kejahatan korupsi dan terorisme, sama sekali tidak memberlakukan keringanan bagi dua jenis kejahatan luar biasa itu.
“Menteri (Patrialis Akbar) jangan asal bicara. Lihat saja Amerika (Serikat) yang tidak memberikan remisi kepada dua jenis kejahatan itu. Begitu juga pembebasan bersyarat bagi napi yang telah menjalani masa pemidanaan 2/3 hukuman. Ingat, pelaku dua jenis kejahatan itu adalah manusia tidak beradab. Kejahatan itu juga merupakan kejahatan luar biasa,” jelas mantan Hakim Agung ini.
Politisi Partai Golkar ini juga mengecam Presiden SBY yang tidak berani bertindak tegas terhadap bawahannya itu. Kepala negara juga dianggapnya tidak konsisten dengan pernyataannya dalam upaya penegakan hukum, terutama menjalankan program pemberantasan Korupsi.
"Aturan remisi koruptor harus diubah. Cukup UU saja yang mengatur secara tegas dan rinci bahwa napi korupsi dan teroris jangan diberikan Remisi. Berarti, jangan ada Peraturan Menteri yang pasti akan dibelokan dan menyakiti rasa keadilan masyarakat, dengan memberikan remisi bagi koruptor. Menteri itu harus sadar dan bisa menyerap aspirasi masyarakat,” jelas pakar hukum pidana Undip ini.
Muladi pun berharap, agar keberadaan KPK makin diperkuat. Lembaga ini juga jangan sampai bobrok, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. KPK pun perlu diawasi, agar jangan sampai diintervensi dan dimanfaatkan pihak tertentu. “Rakyat sudah tak bisa berharap kepada Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan Korupsi. Rakyat sepenuhnya percaya kepada KPK. Oleh karenanya, KPK jangan sampai bobrok dan dimanfaatkan penguasa,” tandasnya.(pkc/rob)
|