JAKARTA, Berita HUKUM - RUU Tax Amnesty kini yang masih di dibahas di DPR RI dan RUU yang dibahas itu akan segera disahkan. Namun, kondisinya sejauh ini masih ada beberapa aturan atau pasal yang masih diperdebatkan. Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo berpandangan bahwa aroma transaksional sangat sarat dan nampak dalam penyusunan RUU tersebut.
"Namun, yang paling utama pasca pengampunan 'tax amnesty' kita peroleh apa ?," tanyanya, menimpali saat usai hadir menjadi pembicara pada diskusi publik "Menakar Implementasi Tax Amnesti di Indonesia" di Resto Bumbu Desa, Jl. Cikini Raya No. 72, Jakarta Pusat. Jakarta, Kamis (9/6) lalu.
Soalnya, menurut Direktur Eksekutif CITA tersebut, saat ini merupakan suatu kebijakan yang condong menimbulkan kecemburuan sosial. Menurutnya, dikhawatirkan kebijakan tersebut malah akan membuat seluruh masyarakat Indonesia menjadi malas untuk membayar pajak dan malah mentransferkan uangnya keluar negeri, supaya mereka tidak usah membayar pajak dan diberikan pengampunan.
Menurut pandangan praktisi perpajakan dari CITA ini bahwa, prinsipnya Tax Amnesty dibuat selain sebagai instrumen untuk mendongkrak sisi penerimaan pajak, juga diharapkan dapat memperluas basis data perpajakan. Mendorong repatriasi modal dan menambah jumlah wajib pajak serta diharapkan dapat menambah kepatuhan Wajib Pajak. Soalnya, penerimaan pajak dalam negeri saat ini masih sangat dikuasai oleh dalam negeri. Sementara, pemerintah Indonesia belum pernah memberikan pengampunan pajak di dalam negeri.
Ditambah lagi menurutnya, "struktur penerimaan pajak saat ini cenderung modern, dimana kondisinya Indonesia hanya 25% saja yang terdaftar wajib pajak, dan 30%-nya saja yang pelaporan pajak SPP dengan benar," ungkapnya lagi.
Justru sinyalnya, dimana belum nampak ada keseriusan, maka supaya orang itu ada pilihan dibuka transparan, mestinya ikut. Sedangkan, sebagian besar sudah kemungkinan mau menghindar pajak. "Pengampunan tax amnesty ini turunannya memiliki instrumen, seperti kepastian tarif, kepastian hukum, Iklim usaha, serta birokrasi," jelasnya.
Apalagi issue yang berkembang, kalau di Indonesia sekitar 7.000 jiwa per 1 orang melayani, "hingga yang menjadi pertanyaan dan persoalan adalah bagaimana bisa melayani dengan baik ?. Selain itu juga melihat yang bisa diminta pajak adalah orang yang bisa dipajaki," imbuhnya.
Seperti diketahui, pada beberapa sektor yang sulit, pemerintah belum mempunyai data, siapa saja yang mendalami program yang ada terkait pengambilan keputusan terkait tax amnesty itu. Menurut Yustinus yang berpandangan bahwa, "pertama, mungkin sehubungan Presiden yang memiliki concern, bermaksud membenahi pajak dan bagaimana melakukan reformasi sehingga membutuhkan cara-cara yang luar biasa, terutama perlu ekseminasi." jelasnya.
Saran Yustinus kedepannya agar Implementasi Tax Amnesty berjalan optimal perlu adanya kesiapan administrasi dari instansi terkait. "Prinsipnya harus mesti segera finalisasikan. Kegunaan Tax Amnesty itu tak hanya untuk menggenjot setoran pajak saja, tapi juga bisa meningkatkan basis pajak, repatriasi modal, dan jumlah Wajib Pajak serta kepatuhan Wajib Pajak juga," ujar Yustinus Prastowo.
"Direktorat Jenderal Pajak, manajemen data dan informasi, sistem IT terintegrasi, serta koordinasi dengan instansi penegak hukum lain seperti OJK, PPATK, Kejaksaan dan Polri harus terintegrasi. Supaya bisa berjalan optimal dan apakah betul akan ada penegakan hukum yang keras nantinya?," pungkasnya.(bh/mnd) |