Oleh: Andriyue Valentino Santana
Berbicara Pemilu 2014, tidak lepas dari pertarungan politik yang indah untuk dilihat bersama-sama di hadapan publik. Sungguh kita amatlah terkagum-kagum atas tingkah tanduk politisi yang gemar akan narsisme-nya di hadapan media-media walaupun itu sangatlah perlu mendongkrak popularitas khususnya popularitas Partai Politiknya.
Dalam hal ini media adalah salah satu cara yang selama ini dianggap paling ampuh untuk mendongkrak popularitas, baik itu secara individu maupun Partai Politik-nya. Maka dari itu tak sedikit pula para politisi mempromosikan dirinya dan juga tujuan (visi dan misi) nya ke media-media, bukan hanya promosi secara terang-terangan di media, tetapi juga ada politisi dengan ber-gerilia layaknya sang prajurit kerajaan yang sedang berperang untuk memperluas daerah kekuasaan “raja”-nya.
Kini tidaklah heran masyarakat Indonesia dengan para calon legislatif yang tidak berlatar belakang ilmu Politik selayaknya, karena berbagai macam latar belakang calon legislatif yang bertarung bukan mengutamakan pendidikan politik, baik itu dari kalangan profesi, pengusaha, aristokrat, birokrat hingga kalangan selebriti pun tidak mengutamakan ilmu Politik untuk “mencalonkan atau dicalonkan”, karena yang terpenting saat ini adalah popularitas.
Politik hari ini berdampak sistemik dimulai dari hukum yang akan menuju on the verge of collapse (di pinggir jurang kehancuran). Hingga hari ini pun Indonesia masih terlampau lemah dalam mengatur masyarakatnya sendiri, dan ironisnya hukum Indonesia tegas hanya di kalangan menengah ke bawah, jarang sekali hukum itu tegas bagi kalangan atas, dan itu memunculkan reaksi kepercayaan minim masyarakat terhadap penegak hukum (POLRI).
Sungguh ironis memang jika kita tetap berdialog dengan mempertahankan impian kita bahwa Indonesia akan menjadi Negara Adidaya seperti Amerika yang dengan mudah meng-embargo negara lain jika tidak sepakat dengan kebijakan-kebijakannya. Padahal jika para politisi-politisi menjalankan amanat Undang-Undang 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, dengan itu maka secara harfiahnya Politik Etis (Politik Balas Budi) kepada masyarakat dapat terlaksana.(*) |