JAKARTA, Berita HUKUM - Harga Garam di Jawa Timur dan Jawa Tengah anjlok. Anjloknya harga garam, ditengarai karena masuknya garam impor dan stok garam petani yang masih melimpah.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur Gunawan Saleh mengatakan, harga garam di Jawa Timur anjlok disebabkan karena adanya impor dan permainan dari para tengkulak. Mereka hanya mau membeli garam petani dengan harga rendah.
"Impornya banyak dan garam rakyat tidak bisa tersalurkan. Para petani mengusulkan kemarin kalau bisa jangan impor dulu," kata Gunawan, seperti dikutip dari RMOLJatim.com (11/7).
Dijelaskannya, stok garam impor di Jawa Timur sisa panen tahun 2018 lalu masih 900 ton. Sementara itu, pada bulan depan, diprediksi akan ada panen garam mencapai seribu ton di Jawa Timur, sehingga dikhawatirkan memicu harga garam lebih rendah lagi.
"Produksi tahun kemarin 900 sampai seribu ton. Ini lagi berproduksi dan kemungkinan satu bulan lagi panen," tambahnya.
Dikatakan Gunawan, harga garam di petani saat ini hanya berkisar Rp 500 per kilogram. Sementara itu, pada tahun lalu, petani bisa menjual garam antara Rp 750 sampai Rp 1.000 perkilonya.
Pemprov Jatim sendiri meminta agar pemerintah pusat menghentikan impor garam, untuk menaikkan harga garam petani lokal di Jatim.
"Padahal ketika kita cek ke pabrik harga bagus. Karena saat ini harga jatuh di tengkulak," pungkasnya.
Sementara, Warga Jawa Tengah, mengeluhkan harga garam yang anjlok. Setiap kilogram garam, hanya dihargai sebesar Rp 300 sampai Rp 400.
Seorang petani garam Masrukhan, 57 tahun, mengakui hal tersebut. Menurutnya, semenjak tahun 2018, harga komoditi ini terus mengalami penurunan.
"Di 2018 awal sempat mencapai Rp 100.000 per tombong (wadah garam dari anyaman bambu, isi 80-100 kilogram). Lalu turun sampai Rp 75 ribu, sampai kini terjun jadi Rp 30 ribu sampai Rp 35 ribu per tombong. Ya kalau se tombong itu isi 80 kilogram, dibagi saja dengan harganya. Jadi ya perkilogram sekitar Rp 375," ujarnya, kepada Tagar, Kamis, 11 Juli 2019.
Ia menyatakan, petani garam di Kecamatan Kedung mulai panen pada tanggal 25 Juni 2019. Menurut pengalamannya, panen akan mencapai puncak pada akhir Agustus hingga September.
Alhasil, semangat para petani menggarap lahan garam pun turun. Hal itu juga berpengaruh pada kualitas garam yang dihasilkan."Kalau terus menerus begini, harganya ya terus anjlok. Mungkin pas puncak-puncaknya panen di bulan September, harganya hanya Rp 150 sampai Rp 250, per kilogram. Mungkin karena impor yang sudah terlanjur turun. Produk kita kan juga diserap oleh perusahaan, baik di Jawa maupun di luar Jawa," tuturnya.
Alhasil, semangat para petani menggarap lahan garam pun turun. Hal itu juga berpengaruh pada kualitas garam yang dihasilkan.
"La wong hasil garamnya putih bersih dengan tidak, harganya sama (Rp 375, perkilogram). Ngapain kita petani susah-susah membersihkan saluran air, menyaring kotoran dan sebagainya," tukas Masrukhan.
Harga Garam Turun Petani Garam Jadi Malas
Hal serupa diakui oleh Noor Ikhsan. Ia mengaku, seiring turunnya harga garam, semangatnya menggarap lahan juga merosot. Namun apa daya, hanya pekerjaan itulah yang dimiliki.
"Males sih sebenarnya. Tapi bagaimana, daripada nganggur," ungkap warga Desa Sowan Lor, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara.
Petani garam lain, Sutamar, 65 tahun, berharap harga garam dapat sedikit terangkat. Paling tidak, harga per tombong bisa mencapai Rp 75 ribu hingga Rp 80 ribu. Sehingga, tenaga dan modal dari petani garam bisa sedikit dihargai.
Untuk saat ini, ia mengaku belum melepas garam yang dipanen. Lantaran, ia tidak setuju dengan harga yang dinilainya terlalu murah.
"Kalau sekarang saya belum jual, harganya masih tiga puluh ribu rupiah per tombong sih. Sementara masih saya simpan di gudang. Menunggu harganya stabil," pungkas Sutamar.(RMOL/tegar/bh/sya) |