JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengubah peraturan presidien (Perpres) Nomor 47 tahun 2009 dengan Nomor 76 Tahun 2011 tentang Wakil Menteri (Wamen) telah merusak sistem birokrasi. Padahal, perencanaan birokrasi harus melalui proses yang matang dan terukur.
Perubahan dengan penerbitan perpres yang dilakukan SBY untuk melonggarkan syarat wamen itu, telah menunjukkan langkah itu hanya berdasarkan pada kepentingan kekuasaan belaka. Sama sekali bukan diperuntukan bagi perbaikan sistem. Demikian dikatakan Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo kepada wartawan di gedung DPR RI, Jakarta, Senin (17/10).
“Jika keputusan itu sebagai niatan politik, sebaiknya tidak dilakukan dengan pendekatannya system. Perubahan perpres untuk menurunkan golongan seseorang, agar memenuhi syarat tertentu secara tiba-tiba, sebuah kekeliruan dalam system peraturan,” ungkap politisi PDP tersebut.
Menurut dia, syarat menjadi wakil menteri yang tidak harus pernah menduduki jabatan setingkat eselon 1A itu, menunjukkan reformasi birokrasi yang dicetuskan pemerintah hanya omong kosong. “Kebijakan itu hanya akan menjadi masalah. Kami akan Tanya ulang konsep reformasi birokrasi yang dijalankan pemerintah sekarang ini,” tandasnya.
Presiden, lanjut dia, tidak boleh seenaknya mengubah peraturan hanya demi meloloskan kepentingan politiknya. Dalam bernegara tidak sepatutnya presiden membuat kebijakan yang tergesa-gesa tanpa perencanaan yang matang. Akhirnya akan terlihat sebagai terobosan yang aneh dan lucu.
Sebelumnya, Presiden SBY telah mengubah syarat wakil menteri tidak lagi harus menduduki eselon 1A atau golongan 4D. Hal ini dilakukan untuk mendudukan Denny Indrayana yang sebagai PNS dan bergolongan 3C itu, dapat menduduki posisi Wakil Menteri Hukum dan HAM.(mic/rob)
|