Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Eksekutif    
Mahkamah Konstitusi
Perpu Nomor 1/2013 Tentang Mahkamah Konstitusi Jadi UU No. 4/2014
Monday 27 Jan 2014 09:36:45
 

Gedung Mahkamah Konstitusi.(Foto: Istimewa)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Setelah diputuskan dalam rapat paripurna DPR-RI melalui pemungutan suara pada 19 Desember 2013 lalu,Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Januari 2014 lalu, telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dalam diktum menimbang UU No. 4 Tahun 2014 ini disebutkan, bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (5) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribagian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara.

Selain itu, untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan UUD, Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dengan pertimbangan tersebut, dan dengan persertujuan bersama DPR-RI dan Presiden memutuskan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Pokok-Pokok Perpu

Subtansi pokok Perpu Nomor 1 Tahun 2013 yang disusun paska penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam kasus dugaan penyuapan itu merupakan perubahan terhadap ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terutama terhadap ketentuan mengenai syarat dan tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon hakim konstitusi, serta pembentukan majelis hakim kehormatan konstitusi.

Pasal 15 Ayat (1) Perpu No. 1/2013 menyebutkan, hakim konstitusi harus memenuhi syarat: a. Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; b. Adil; dan c. Negarawan yang menguasai konstitusi dan kenegaraan.

Sementara pada Pasal 15 Ayat (2) disebutkan, untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat di atas, seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat di antaranya berijazah doktor dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan hukum; berusia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada saat pengangkatan; mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 tahun; dan tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi.

Menurut Perpu ini, hakim konstitusi sebelum ditetapkan Presiden, terlebih dahulu harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli.

Mahkamah Agung, DPR dan/atau Presiden mengajukan calon hakim konstitusi kepada Panel Ahli masing-masing paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan.

“Panel Ahli menyampaikan calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan sesuai dengan jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan ditambah 1 (satu) orang kepada Mahkamah Agung (MA), DPR, dan/atau Presiden,” bunyi Pasal 18A ayat (3) Perpu No. 1/2013.

Perpu ini menegaskan, Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden memilih hakim konstitusi sesuai jumlah yang dibutuhkan dari nama yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Adli, dan mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan.

“Panel Ahli menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah dibentuk oleh Komisi Yudisial,” bunyi Pasal 18B.

Adapun anggota Panel Ahli berjumlah 7 (tujuh) orang, yang terdiri atas: 1 (satu) orang diusulkan MA; 1 (satu) orang diusulkan oleh DPR; 1 (satu) orang diusulkan oleh Presiden; dan 4 (empat) orang dipilih oleh Komisi Yudisial berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum dan praktisi hukum.

Panel Ahli harus memenuhi syarat, di antaranya berusia paling rendah 50 tahun, dan tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum Panel Ahli dibentuk. “Anggota Panel Ahli dilarang mencalonkan diri sebagai calon hakim konstitusi,” bunyi Pasal 18C Ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2013.

Perpu ini juga mengamanatkan Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial menyusun dan menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk. Kode etik sebagaimana dimaksud bersifat mengikat serta wajib dipatuhi oleh hakim konstitusi.

Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, Mahkamah Konstitusi bersama dengan Komisi Yudisial membentul Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap.

Keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi berjumlah 5 (lima) orang, yang terdiri atas unsur: a. 1 (satu) orang mantan hakim konstitusi; b. 1 (satu) orang praktisi hukum; c. 2 (dua) orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatar belakang di bidang hukum; dan 1 (satu) orang tokoh masyarakat.

Anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi harus memenuhi syarat, di antaranya berusia paling rendah 50 tahun, dan tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sebelum diangkat menjadi anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.

“Masa jabatan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi selama 5 (lima) tahun, dan tidak dapat dipilih kembali,” bunyi Pasal 27A Ayat (7) Perpu No.1/2013.

Disebutkan dalam Perpu ini, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi bersidang secara terbuka untuk melakukan pemeriksaan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim konstitusi, namun ketentuan ini tidak berlaku terhadap pemeriksaan yang terkait dengan perbuatan asusila dan pemeriksaann yang dapat mengganggu proses penegakan hukum yang sedang berjalan.

“Putusan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi bersifat final dan mengikat,” bunyi Pasal 27A Ayat (11) Perpu tersebut.(Pusdatin/ES/skb/bhc/sya)



 
   Berita Terkait > Mahkamah Konstitusi
 
  Massa Aksi KaPK Datangi PTUN Jakarta, Minta Anwar Usman Tidak Didzalimi
  MKMK Berhentikan Anwar Usman dari Jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi
  Sekjen MK Kupas Tuntas Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
  Paripurna DPR RI Setujui RUU MK Menjadi Undang-Undang
  Tulisan Kaligrafi di Pintu Masuk Ruang Sidang MK Ini Bikin Merinding
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2