FLORES TIMUR, Berita HUKUM – Konflik tanah ulayat kembali memuntahkan pelurunya hingga menimbulkan banyak korban jiwa dan luka-luka hingga saat ini, Kamis (14/11). Konflik ini dipicu akibat Bupati Flores Timur Yoseph Lagadoni Herin telah berkhianat dalam kesepakatan dengan warga Desa Lewonara yang saat itu telah melakukan prosessi ceremonial tapal di batas berlokasi di Got Hitam, Kecamatan Adonara Timur, Flores Timur, NTT.
"Tidak ada saksi dalam insiden berdarah itu, bilamana bupati tidak mengkhianati apa yang telah disepakatinya dengan warga,'' ujar Sida, tokoh masyarakat Adonara timur kepada wartawan BeritaHUKUM.com tadi sore. Menurut Sida, kesepakatan itu sangat jelas dan dengan tegas telah disampaikan secara lisan bahkan secara tertulis kepada Bupati yang bunyi pernyataannya, warga Desa Lewonara diizinkan melakukan tapal batas dengan catatan tidak boleh membawa senjata tajam dan maksimal yang melakukan tapal batas hanya butuh 50 orang.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan yang dikhawatirkan ada penyerangan dari pihak lawan Desa Lewobunga, pihak Pemerintah pun berjanji akan mendampingi warga Desa Lewobunga, bahkan berjanji akan mengerahkan Brimob untuk mengantar sampai ke lokasi Tapal batas. Nah, rupanya Pemerintah yang tadinya berjanji akan mendampingi ternyata pada hari H-nya tidak ada satu pun yang hadir, begitu pun dengan pengawalan keamanan dari Brimob.
Meskipun tanpa kawalan dari aparat, warga Desa Lewonara rata-rata orangtua adat berusia 70 tahun tetap pergi ke lokasi dengan menumpangi dua buah mobil truk. Proses acara ceremonial adat pun dilakukan tanpa ada kendala. Namun, begitu usai acara ceremonial tersebut, mereka dihadang oleh pihak lawan Desa Lewobunga dengan massa mencapai sekitar dua ratusan orang yang datangnya tidak diduga dari berbagai penjuru.
Mereka pun diberondong peluru dengan berbagai jenis senjata rakitan, mulai dari Bazooka, Senapan mesin laras panjang, bahkan senjata api asli. Kabarnya senjata asli yang dipasok dari daerah Papua tersebut sumber keuangannya datangnya dari pejabat-pejabat pemerintah setempat. Ironisnya, oknum-oknum wartawan lokal baik cetak maupun Televisi ikut terlibat dalam masalah ini.
Para tetua adat dari Desa Lewonara berupaya mencari tempat perlindungan sambil menunggu datangnya bantuan dari pemukiman mereka. Perang pun meletus sehingga dalam kejadian itu, 1 warga dari Desa Lewonara tewas dan 6 orang luka. Sementara dari pihak lawan dari Desa Lewobunga tewas 7 orang tertancap anak panah. Korban luka saat ini masih dirawat di RSUD Larantuka, diantaranya dua orang sore tadi dirujuk ke rumah sakit di Maumere.
Warga dari Desa Lewonara sangat menyesalkan insiden tersebut, karena yang diharapkan tidak ada insiden saat pelaksanaan tapal batas. Dengan tegas mereka meminta Gubernur, Bupati dan sejumlah oknum dewan, salah satunya bernama Robert Kreta dari fraksi PDI-P bertanggung jawab atas insiden tersebut.
Konflik yang terjadi di wilayah sengketa tanah ulayat ini menurutnya kuat dugaan disebabkan adanya gesekan kepentingan politik oleh para para pejabat setempat. “Semua kejadian sudah didramatisir yang discenario oleh Gubernur, Bupati dan sejumlah oknum Dewan, karena mereka ini yang mempunyai kepentingan atas tanah sengketa ulayat ini. Karena dikabarkan lahan yang sekarang menjadi sengketa ini mau disulap jadi stadion,” ujar Sida.
Menyikapi konflik sengketa tanah ulayat ini, Kapitan, Koordinator Hukum Pengacara NTT, mengutuk tindakan kekerasan dan pelanggaran dari aparat Pemerintah setempat. Dengan tegas dia menuntut Gubernur dan Bupati serta sejumlah oknum dewan Flores Timur bertanggungjawab atas insiden ini. Selain itu, dihentikannya campur tangan Polri maupun TNI dalam konflik termasuk dalam penyelesaian dan penanganan konflik antara warga desa Lewonara dan desa Lewobunga. Tak hanya itu, dia menuntut pengusutan secara tuntas tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM atas 3 orang dari warga desa Lewonara yang ditembak Brimob pada 3 Oktober lalu.
Sementara itu, Gubernur NTT, Frans Leburaya saat mengunjungi beberapa pasien luka tembak yang dirawat di RSUD Larantuka ketika disinggung mengenai insiden kemarin pada tanggal 13 November, mengaku prihatin terkait kembalinya konflik antar dua kelompok warga tersebut. Frans ketika ditanyai persoalan mengenai janjinya selama ini akan memfasilitasi warga Desa Lewonara terkai persoalan tanah ulayat, dia tidak banyak berkomentar. “Yang jelas saya akan memfasilitasi, itu saja cukup,'' ujar singkat.
Sementara itu di tempat yang sama, Bupati Flores Timur Yoseph Lagadoni Herin yang mendampingi Gubernur menyangkal adanya kesepakatan itu. “kesepakatan seperti itu tidak ada, saya tidak pernah memberikan kesepakatan," ujarnya sembari menghindari dari kejaran wartawan.
Mendengar penyangkalan dari Bupati tersebut, seorang warga yang merupakan salah satu korban tembak yang dirawat di rumah sakit mengamuk, sembari menyumpahi Bupati atas kelalaiannya dalam menjalankan tugasnya. “Anda jangan berlagak bodoh dan tidak tau menahu. Anda sendiri yang memberikan kesepakatan, malah anda sendiri yang mengingkari kesepakatan itu. Nah, akhirnya kejadian seperti ini banyak keluarga saya yang jatuh korban,” ucapnya sembari menyumpahi Bupati.(bhc/san)
|