SURIAH, Berita HUKUM - Penggunaan senjata kimia yang menelan banyak korban jiwa terutama anak-anak dan bayi di Suriah, menjadi fokus dari 'bola salju' akan berlakunya penyerangan terhadap Suriah yang diperkirakan kurang lebih sepekan lagi.
"Kita tak bisa mengizinkan di abad ke-21 ini, senjata kimia dapat digunakan dengan impunitas dan tidak ada konsekuensi," kata Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague dikutip the Independent.
Antisipasi dari serangan ini, dikabarkan Rusia yang merupakan sekutu Suriah telah menyiapkan kapal-kapal perang untuk berjaga-jaga. Di Amerika dan di beberapa negara, hingga saat ini para aktivis kemanusiaan turun ke jalan meneriakkan penolakan peperangan atau serangan yang direncanakan tak lama lagi akan meletup. Dan pihak pemerintah Suriah sendiri menyatakan telah bersiap menyambut serangan.
Sementara itu, Dr Christof Lehmann, pengamat perkembangan geopolitik di Timur Tengah, telah menciptakan istilah “post-modern coup d’Etats” untuk menggambarkan misi terakhir NATO dan agenda Zionis untuk menciptakan perubahan rezim di wilayah Timur Tengah. Istilah ini mengacu pada kombinasi yang rumit dari operasi rahasia, intervensi militer terbuka, dan taktik “soft-power.”
Sudah bukan rahasia lagi bahwa tujuan akhir dari kebijakan perubahan rezim di Timur Tengah adalah untuk menggantikan pemerintah negara-negara Arab dengan “rezim klien” yang mirip dengan rezim Iran. Apakah kebijakan tersebut akan berhasil menggulingkan rezim Suriah dan memulai serangan militer terhadap Iran? Masih menjadi perdebatan. Satu hal yang jelas namun berakibat buruk dari konsekuensi militer terhadap Suriah dan Iran, yaitu akan membuat Timur Tengah menjadi medan perang.
Seperti diketahui, pada bulan-bulan pertama tahun 2011, AS dan sekutunya telah kehilangan tiga ‘sahabat’ dekatnya: Hosni Mubarak di Mesir, Zine Al-Abbidin Ben Ali di Tunisia dan Saad Hariri di Libanon. Mubarak dan Ali jatuh dari kekuasaan oleh pemberontakan rakyat luas, sedangkan Hariri digulingkan oleh parlemen.
Terinspirasi oleh perkembangan pembebasan tiga negara ini, pemberontak pro-demokrasi dan tidak senang terhadap penguasa otokratis (dan pendukung Barat mereka) segera menyebar ke beberapa negara lain seperti Bahrain, Yaman, Yordania dan Arab Saudi.
Seperti perkembangan “poros perlawanan” revolusioner yang berbau politis yang menguntungkan (Iran, Suriah, Hizbullah dan Hamas) di Timur Tengah terhadap AS-Israel sebagai “poros agresi.”
Jatuhnya kekuasaan pemimpin rezim negara-negara ‘sahabat’ AS oleh gelombang protes dan kekerasan yang melanda Mesir dan Tunisia, membuat AS dan sekutunya menyerang balik dengan penuh strategi. Mereka menggunakan sejumlah taktik simultan untuk menyabot pergolakan Arab. Termasuk diantaranya: (1) menghasut kasus palsu pergolakan di negara-negara Arab yang dipimpin oleh rezim durhaka seperti yang berkuasa di Iran, Suriah dan Libya, (2) mengkooptasi gerakan revolusioner di beberapa negara seperti Mesir, Tunisia dan Yaman , (3) menghancurkan rezim negara-negara seperti Bahrain, Yordania dan Arab Saudi dengan memunculkan gerakan pro-demokrasi, sebelum AS dan sekutunya turun tangan, seperti yang mereka lakukan di Mesir dan Tunisia, dan (4) menggunakan taktik membagi dan memerintah dengan memainkan kartu truf sektarian, Sunni vs Syiah atau Iran vs Arab.
Segera setelah para diktator dijatuhkan oleh pemberontakan rakyat di Mesir dan Tunisia, kekuatan-kekuatan kontra yang dipimpin oleh AS memulai kontrol kerusakan. Strategi utama dalam mengejar tujuan ini adalah untuk memicu perang saudara dan mengubah kesan rezim baru menjadi buruk, dan kemudian menggambarkan mereka sebagai bagian dari pergolakan negara-negara Arab.
Skema ini bekerja ibarat lengan kelompok oposisi untuk menciptakan negara ‘tidak sehat’, menghasut pemberontakan dan kekerasan dengan bantuan pasukan tentara bayaran rahasia dengan kedok berjuang untuk demokrasi, dan ketika pasukan pemerintah berusaha untuk memadamkan pemberontakan bersenjata, mereka dituduh telah melakukan pelanggaran HAM. Namun setelah itu Barat mulai secara terbuka untuk membantu perubahan rezim menjadi lebih baik dengan dalih “tanggung jawab untuk melindungi” hak-hak manusia.
Sebagai contoh terlemah dalam jatuhnya rezim sehingga terjadi revolusi, adalah rezim Qaddafi yang menjadi sasaran pertama. Sekarang ini, semua laporan yang dibuat oleh Barat sama sekali bertentangan dengan keadaan sebenarnya, seperti sering dikabarkannya aksi demo damai tanap senjata dan damai di Mesir, Tunisia dan Bahrain.Berbeda dengan pemberontakan yang terjadi di Libya, semua sudah terencana, bersenjata, dan sebagian besar yang menjadi ‘penyokong’ adalah pihak luar negeri. Memang, bukti menunjukkan bahwa rencana perubahan rezim di Libya telah diambil jauh sebelum serangan terbuka, akibat perang saudara yang melanda seluruh wilayah Libya.
Hal ini sudah menjadi rahasia umum bahwa pemberontakan di Libya maupun pemberontakan di Suriah tidak terjadi secara spontan maupun dengan cara damai. Sejak awal memang telah dipersenjatai, dilatih dan diorganisir oleh AS dan sekutunya. Serupa dengan serangan terhadap Libya, negara-negara Liga Arab dan Turki telah berada di garis depan dalam melakukan serangan gencar terhadap Suriah. Juga seperti kasus Libya, ada bukti bahwa persiapan untuk perang melawan Suriah, secara aktif telah direncanakan jauh sebelum dimulainya pemberontakan bersenjata yang sebenarnya, yang dicap sebagai kasus pergolakan Arab.(dbs/bhc/mdb) |